Kamis, 12 Desember 2013

Dogmatis

Di negara kita, pengetahuan tentang agama sering disampaikan secara dogmatis. Bukan dengan cara-cara yang kritis. Kebanyakan dari kita "dipaksa" mempercayai sesuatu tanpa diberi alasan kenapa. Mungkin saya salah satunya?
Produk dogma bersedia membela mati-matian keyakinannya. Siap menentang habis-habisan pihak yang bersebarangan faham.
Ketika orang lain mempertanyakan alasan dibalik pendiriannya, mereka marah. Mengatai si penanya yang tidak-tidak, padahal bisa jadi dia sungguh-sungguh penasaran. Bukan untuk menjatuhkan.
Jangan-jangan mereka marah bukan karena pertanyaan itu tak pantas disampaikan? Tapi karena mereka terkejut menyadari tak tahu apa yang mereka bela mati-matian, juga apa yang mereka cela habis-habisan. Ah, semoga saya bukan salah satunya.
Mempunyai pendirian tentu tak salah. Punya alasan dibalik keyakinan tersebut tentu lebih baik.
Ibrahim menemukan tuhannya melalui pencarian. Bukan dari perintah ayahnya, yang bahkan tak mampu menjawab," Kenapa kita harus menyembah sesuatu yang kau ciptakan, Ayah?"
Manusia memang ciptaan tersempurna. Diberi nafsu untuk bertindak, dibekali akal untuk berpikir.
Ibrahim dan ayahnya sama-sama punya prinsip kebenaran. Mempunyai pendirian tentu tak salah. Punya alasan dibalik keyakinan tersebut tentu lebih baik.

Rabu, 11 Desember 2013

My First Interview : Outfit

Sebenarnya ini bukan wawancara kerja pertama saya. Sebelumnya saya pernah mengalami ini sewaktu freelance di Litbang Kompas, menggantikan posisi orang selama 3 bulan.  Waktu itu saya PD diterima karena direkomendasikan sama orang sebelumnya :D

Interview kedua sewaktu melamar untuk posisi Tenaga Pendamping pada suatu program bantuan pemerintah di dinas kabupaten. Waktu itu juga PD bakalan lolos karena memang tidak banyak yang melamar. Kenapa? Akses informasi terbatas. I think I did nepotism about access to information.

Wawancara yang ketiga ini, posisi saya bukan anak raja yang bisa lolos tanpa usaha. Saya mencari pekerjaan, mempersiapkan surat lamaran dan CV dengan serius, lalu mengirimkan lamaran. Tak ada orang yang saya kenal untuk merekomendasikan saya seperti pekerjaan sebelumnya. Mendapatkan pekerjaan ini harus pakai usaha.

Saya melamar lowongan pekerjaan untuk posisi jurnalis. Profesi yang saya minati dengan sepenuh hati. Kalau dibuat skala prioritas "The Most Wanted Job" versi Putri on the crot, akan saya urutkan seperti ini:
1. Jurnalis
2. Pemilik travel agent
3. Relawan di konservasi terumbu karang, orang utan, panda, penyu dll.

Tolong jangan ada yang protes kenapa posisi 'istri' atau 'ibu' tak nampak di daftar itu. Buat saya, menjadi istri dan ibu bukanlah suatu profesi, melainkan kewajiban mulia perempuan. Pekerjaan memberikan kita keleluasaan menentukan mau atau tidak, sedangkan kewajiban tak memberi pilihan itu. Eaaaah :D

Tuh kan melebar dari topik utama!

Karena ini pekerjaan idaman, saya mempersiakan kelengkapan persyaratan yang diminta dengan sungguh-sungguh. Termasuk soal busana. Semalam, saya ngobrol dengan teman yang "berpengalaman" dipanggil wawancara oleh perusahaan media.

"Pake celana bahan sama kemeja? Bajunya dimasukkin jangan? Hehe" Pertanyaan konyol itu saya lontarkan kepada Ka Dita, senior di kampus yang kini bekerja di Antara. Untung Ka Dita itu baik hati menjawab hal-hal nggak penting yang terlintas di benak saya.

"Ga punya sepatu pantofel, Ka. Adanya kets sama sepatu plastik. Owh, pake flat shoes aja. Oke, oke"

Tak puas dengan saran Ka Dita, saya bertanya pada Gita, teman seangkatan yang kini kerja di Tempo.

"Waktu gue interview sih ada cowok yang pake kaos, jeans sama sepatu kets. Tapi bagusnya formal aja, Put. Biar kesannya kita menghormati gitu"

Soal busana ini agak menjadi perhatian saya, selain kelengkapan persyaratan. Kakak kelas saya cerita kalau temannya pernah dikomentari terlalu klimis sewaktu diwawancara orang tv. " Temen aku pake blezer, kemeja dimasukin, sepatu kantoran.. Emang kamu tuh mau ngelamar ke bank ya formal begitu, gitu kata interviewernya"

No! No! No! Semoga saya tak mengalami itu.

Setelah bongkar-pasang beberapa kemeja ini-itu...

Saya akhirnya menentukan mau pakai apa untuk wawancara siang nanti. Dengan atasan kemeja bekas kakak yang warnanya baby pink, jilbab pink tua punya adik saya, celana bahan warna abu-abu bergaya santai dan sepatu plastik warna coklat! Baru sadar kalau saya nggak punya flat shoes. Adanya flat shoes plastik :p

Cerita grasak-grusuk berangkat, gerimis, nyasar sampai tiba di TKP saya skip yaa. Loncat ke cerita: Saya pun membuka pintu gedung tempat saya wawancara. Setelah menyampaikan maksud ke mbak-mbak di meja di resepsionis, saya diberikan formulir berlembar-lembar untuk diisi. Di lobi, saya melihat seorang gadis tengah mengisi formulir yang sama dengan punya saya. Sang kompetitor nih!

Sembari melambungkan senyum, saya duduk di kursi sebelahnya. Bukannya langsung mengisi, saya malah memperhatikan penampilanya. Berjilbab, kaos yang dilapisi blazer coklat muda, celana jeans, kets merah yang agak kotor, serta tas keril kira-kira seukuran 40L. Yang salah kostum saya apa dia ya?

Beberapa menit kemudian, datang gadis lain yang saya tebak punya maksud yang sama dengan saya. Dia menuju resepsionis dan kembali dengan formulir. Rambut ikal sebahu diikat, dress hitam dengan motif bunya kecil-kecil, skinny jeans dan wedges sekira 3 cm. Jiiiir! Mutlak saya yang salah tempat!

Seorang lelaki membuka pintu, lalu menuju resepsionis. Memakai kaos berkerah, celana jeans dan sepatu besar mirip sepatu gunung. Saya makin nestapa. Merasa satu-satunya calon pegawai bank di antara calon-calon jurnalis. Huwaaa!

Dan lelaki-lelaki lain dengan penampilan serupa berdatangan. Saya pun pengen nangis kejer! Tuhan, mengapa aku berbeda? :(

Eh, eh! Siapa itu?
Saya menangkap sosok lelaki kurus, berkacamata, memakai kemeja biru dongker motif garis horizontal, celana bahan, berkaus kaki dan pakai sepatu kantoran. Untung saja sepatunya nggak disemir sampai kinclong pake sunlight :p

Terimakasih, Tuhan... Engkau sungguh penyayang mengirimkan orang yang lebih rapi dari saya :D

Minggu, 24 November 2013

Rindu, Nama Rasa Kurang Ajar Itu

Napas saya mulai berat. Mata saya lebih berair dari biasanya. Siang bolong kali ini rasanya menyesakkan.
Bukan karena debu-debu yang berterbangan dan masuk ke mata. Bukan juga gegara polusi udara jahanam yang mengganggu pernapasan. Bukan itu. Dada saya yang sesak.

Hey, kata orang rindu selalu datang tiba-tiba.
Sial! Kali ini saya yang kena. Rasa itu menyerang, membuat sesak. Dalam hitungan detik mereka datang bergerombol sampai penuh. Berdesakan. Tanpa berkabar sebelumnya kalau dia akan mampir hari ini.
Gempuran tiba-tiba ini menyebalkan. Yang benar saja datang di siang bolong! Terlebih, sedang ada Ibu di sini. Saya benci terlihat cengeng di depannya.

Sebenarnya tak apa jika rindu ingin bertandang. Syaratnya cuma bilang. Biar bisa saya siapkan waktu dan tempat yang tepat untuk mencumbuinya.

Saya tidak punya daya untuk bertahan. Apalagi melawan. Saya biarkan rindu menggerayangi. Semau mereka saja. Upaya apapun untuk membendung sergapan mereka akan sia-sia. Hanya akan membuat sakit. Dan tentu semakin sesak.

Dari ekor mata, diam-diam saya perhatikan Ibu. Ah, saya tahu dia paham saya sedang dikontrol perasaan. Syukurlah,dia tidak mengusik saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan saya jawab dalam keadaan begini. Menginterupsi saya seperti sekarang akan membuat saya sebal. Dia sangat tahu kalau saya pasti bercerita ketika ketenangan sudah mengendalikan perasaan yang hiruk-pikuk.

"Kangen Bapak..."

Hanya itu yang terucap ketika saya berhasil merajai perasaan yang kacau-galau. Ibu diam saja. Dia seorang penerka yang hebat karena itu adalah respon terbaik yang saya inginkan. Saya tidak mau nasihat. Saya tidak mau pelukan. Saya tidak mau belaian di pundak, ataupun kepala. Itu akan membuat saya semakin tidak bisa mengontrol diri. Saya cuma mau dia tahu saya baik-baik saja.

Ah, jangan-jangan rasa itu juga menyergapnya setelah pengakuan barusan?
Kami berdua memilih diam. Tidak membiarkan tangis memecah bisingnya suara kendaraan kalau kami saling bercerita. Siang bolong ini saya mengizinkan rindu datang bertamu.

Sabtu, 26 Oktober 2013

Move On di Tempat

Nyari pacar baru tapi yang apa-apanya mirip mantan itu judulnya move on di tempat. Ibarat kursi goyang nenek. Emang pindah sih gerak maju-mundur, tapi yaaa di situ-situ aja :)

Eh!

Selasa, 22 Oktober 2013

Suatu Malam di Rumah Sakit (2)

Emah, nenek saya masuk rumah sakit lagi. Dia meminta untuk dirawat di rumah sakit yang berbeda dari yang sebelumnya. Keinginan itu dituruti anak-anaknya karena Emah sedang mudah marah. Ganti dokter, ganti obat dan rumah sakitnya tidak lebih bagus. Tak apa yang penting Emah sehat.

Ketika masuk, bibi saya memesan kamar kelas 1. Sayangnya penuh, pun begitu dengan kelas 2. Terpaksa Emah menginap di kamar kelas 3 sampai ada pasien di kelas 1 yang keluar.

Seperti biasa, ibu kebagian jaga malam. Ya memang hanya ibu saya yang memungkinkan karena cuma beliau yang single fighter dan tidak punya anak kecil. Saya tentu saja harus menemani ibu. Misalnya dia tidak minta pun pasti saya ikut menginap untuk memastikan ibu makan dan cukup istirahat.

Mengingat pengalaman sebelumnya, Emah itu banyak maunya. Minta dipijat, dibalur balsem, dikipasi, ditabur bedak, diusap, kasur dinaikkan, dilap air hangat, minta susu de-el-el. Saya kasihan sama ibu, jadi mau saya bantu. Tapi yang terjadi keseringan saya tidur pulas :D
Manfaat keberadaan saya dipertanyakan selain sebagai ojek dan pengingat makannya ibu.

Tadi kami berangkat setelah magrib. Sesampainya di rumah sakit, saya dan ibu agak kaget mengetahui satu ruangan berisi 10 kasur! Kirain kelas 3 itu ditempati 4 pasien. Maklum sih ini kelas ekonomi. Sebenernya yang bikin kesel itu keadaan ruangan lebih mirip pasar daripada rumah sakit. Pasiennya satu, yang jaga se-RT.

Luas ruang untuk satu pasien sekira 2x3. Dikira-kira itu juga soalnya saya ga bawa meteran, hehe. Pokoknya sempit, hanya cukup kasur dan kursi lipat. Setiap ruang disekat dengan tirai. Jadi ya bunyi-bunyian dari kasur tetangga kedengaran.

Di depan terdengar suara Nike Ardila bernyanyi dari handphone, sengaja diloud speaker! Masih dari depan, terdengar tawa wanita yang ditahan-tahan agar tak terlalu keras. Di pojok dekat kamar mandi terdengar rumpi para lelaki yang tidak berusaha memelankan suaranya. Anak-anak berkeliaran. Teriakan dan tangisan mereka menambah "semarak" suasana.

Duh gusti, kok pada girang amat nginep di rumah sakit? Ini bukan tempat rekreasi keluarga kan ya?

Harus sering bilang permisi sambil tersenyum sungkan setiap mau ke kamar mandi atau keluar ruangan. Pasalnya para keluarga pasien "bergeletakan" di depan kamar mandi dan pintu keluar yang memang menyisakan ruang yang cukup buat tidur terlentang. Daripada tidur di jalan-jalan, saya mending begadang.

Malam ini sepertinya tidak akan bisa tidur. Sepertinya sih, tapi nggak jamin saya kuat melek semalaman. Soalnya di RS yang lama juga saya bilang bakalan susah merem tapi yang terjadi saya selalu berhasil bobok anggun di atas karpet yang keras :D

Sekitar jam 8 malam, pasien di samping kiri pulang. Kasurnya kosong. Waaak! Alhamdulillah, makasih ya Allah. Inikah kado buat anak sholehah yang berbakti pada orang tua? Tenang, tenang... anak sholehah yang dimaksud itu ibu, bukan saya.

Sudah jam 9 malam dan suasana hingar bingar mulai mereda. Pada cepat bobok yak semuanya biar besok nggak telat bangun pagi. Semoga cepat sembuh, Mah :)

Rabu, 02 Oktober 2013

Suatu Malam di Rumah Sakit

Kamar 212
Setelah menginap tiga hari di ICU, lalu dipindah ke HCU selama dua hari, akhirnya jam 11 tadi nenek saya bisa menempati kamar rawat inap biasa. Alhamdulillah, berarti keadaannya semakin membaik. Emah, begitu sebutan saya kepada nenek, masuk rumah sakit setelah darah tingginya naik sampai 270. Kata dokter itu angka yang sangat tinggi. Katanya lagi nenek saya kuat sekali karena biasanya tekanan darah setinggi itu bisa membuat pembuluh darah pecah sampai menyebabkan kematian.

Beliau menempati kamar nomor 212. Ketika melihat deretan nomer itu, pikiran saya tertuju pada sosok Wiro Sableng. Tokoh utama di film laga favorit saya sewaktu kecil, hehe. Rangkaian nomor 212 merupakan angka saktinya si murid Sinto Gendeng itu, semoga nenek saya juga semakin sakti melawan penyakitnya. Amin. (Apa hubungannya?!)
Sekarang nenek saya sedang diuap, mudah-mudahan besok penyakitnya ikut menguap keluar dari tubuhnya. Aamin. Get well soon, mah...

Minyak Angin Beda Generasi
Dibelikan yang aromatherapy, tetapi nenek saya protes. Maunya pakai minyak angin yang cap "alat perkakas". Tahu dong itu merk apa. Dari namanya saja sudah keliatan segmen pasarnya berbeda. Yang merknya pake bahasa Inggris membidik masyarakat modern. Sedangkan yang merk alat perkakas menjadikan nenek saya dan sebayanya sebagai konsumen.

Meskipun minyak angin modern menyuguhkan berbagai varian wangi, nenek saya setia dengan yang cap alat perkakas itu. Dia adalah komsumen dengan loyaloitas tinggi. Tak goyah oleh iklan-iklan minyak angin kekinian. Penasaran apa rahasianya, saya buka tutup minyak angin yang cap perkakas, lalu saya hirup baunya....
"Hmmm... Aromanya menggal banget setajam kapak! Hahaha"

Kalau mau jujur sih saya lebih suka wangi yang jadoel itu sih, tapi....
Tidak, tidak... saya adalah anak muda generasinya Agnes Monica. Saya pilih yang aromatherapy deh daripada dibilang berselera aki-nini :D

Melek Sendirian
Ih sumpah ya mati gaya banget malem ini di rumah sakit!

Bahas apa lagi ya? Nomor kamar sudah, minyak angin juga sudah. Duh! Ibu saya semakin terlelap, begitu pun nenek saya. Suasananya hening. Hanya sesekali terdengar langkah kali di luar kamar. Dugaan saya, mungkin itu suster yang sedang jaga malam. Tapi saya tidak memastikan kebenaran hal itu. Bukan karena takut lho ya, tiba-tiba pas saya melongok keluar, tahu-tahu susternya ngesot, bukan melangkah. Malas saja. Untuk apa nongkrongin orang yang lewat? ku-rang ker-ja-an *melambaikan tangan ke kamera*
 

Kamis, 04 Juli 2013

Tentang Ekalaya


Masih tentang novel Pulang karya Leila S. Chudori. Pada tulisan sebelumnya, saya berniat mengulas tentang Ekalaya. So, here we go!

Di antara banyak tokoh wayang, Dimas mengagumi Bima dan Ekalaya. Dimas tertarik pada Bima karena kesetiaannya pada Drupadi, perempuan yang menikahi lima kakak beradik Pandawa. Meskipun cintanya tak pernah berbalas, kesetian Bima tidak surut sedikit pun. Dia selalu melindungi Drupadi. Menurut saya, alasan Dimas menyukai Bima itu karena dia merasa dirinya bagaikan Bima dan Drupadi adalah Indonesia. Nasib Dimas dan Bima sama, begitulah kira-kira yang saya tangkap :D

Ekalaya memang spesial. Leila memberikan “ruang” tersendiri untuk menceritakan kisahnya. Namanya tidak terlalu dikenal di dunia wayang karena Ekalaya kalah pamor oleh Arjuna. Lintang selalu penasaran mengapa ayahnya menyukai Ekalaya. Akhirnya, saya jadi ikut-ikutan mengidolakan si mas Eka deh. *sok akrab!*

Pada bab Lintang Utara, terselip bagian khusus untuk Ekalaya. Saya jatuh cinta pada Ekalaya. Maka, saya berikan “ruang” yang luas di sini untuk menceritakan tokoh wayang tersebut.

Pulang, halaman 183-196:
"Lalu, kenapa Ekalaya?" Tanyaku.
“Hanya dia yang bisa menandingi kemahiran panah Arjuna tanpa berguru pada Resi Dorna,” kata Ayah.
Pada kisah Ekalaya, menurut Ayah, kita melihat bagaimana seseorang bisa mencapai kesempurnaan ilmu tanpa harus berguru pada sang guru: bagaimana akhirnya pencapaian itu dia raih karena derasnya keinginan dari diri sendiri. Tentu saja cerita ini diawali oleh tokoh Ekalaya yang ingin mahir memanah di bawah ajaran Resi Dorna.
Aku ingat ketika Ayah menerima sebuah bingkisan titipan dari adiknya, Om Aji: wayang kulit Bima dan Ekalaya. Mata Ayah berkilat-kilat. Dia langsung menganggantung kedua helai sosok wayang kulit itu di tembok ruang tengah sembari mengatakan  tokoh Ekalaya sukar dicari. Om Aji pasti mencarinya hingga ke pelosok Solo.
Begitulah. Di suatu malam yang gelap, lebih gelap daripada hitamnya malam tanpa bulan, Resi Dorna berjalan di hutan yang meruapkan aroma lotus. Seorang lelaki muda berkulit amat kelam hingga Resi Dorna terkejut melihat sinar mata yang mendadak mencegatnya.
“Siapa engkau anak muda?”
Seorang lelaki muda, begitu tinggi, begitu tegap, yang seluruh tubuhnya hanya terdiri dari otot dan kulit kenyal berwarna kelam, dengan satu gerakan yang anggun membungkuk sedalam-dalamnya. “Resi Dorna, guru dari segala guru, aku adalah Ekalaya. Putra Hiranyadanush.”
Resi Dorna setengah tak sabar, segera memotong kalimat yang diutarakan dengan penuh irama itu, “Ya, ya, ada apa, Nak?”
Masih menyembah, Ekalaya menyatakan keinginannya untuk berguru kepadanya, kepada sang maestro panah yang dipuja sejagat. Tanpa menanti sedetik pun, Resi Dorna menyatakan ia tak mungkin menjadi gurunya karena janji ekslusivitas kepada para putera Kuru. Tetapi yang tak diucapkan Dorna adalah, dia hanya ingin Arjuna yang menjadi pemanah terbaik di dunia.
Ekalaya pantang surut semangat. Di hadapannya adalah guru sepuh yang sudah lama ia paterikan dalam jantungnya. Tak mungkin Ekalaya membiarkan Dorna pergi sebelum dia mendapatkan sesuatu yang bisa digenggam.
“Guru…”
“Saya bukun gurumu.”
“Bagi hamba, engkau selalu Guruku. Paling tidak berilah restu kepada hamba, hamba mohon,” Ekalaya menyembah kak Resi Dorna, sang kakek tua itu akhirnya tersentuh juga. Ia mengusap kepala Ekalaya.
“Baiklah, kurestui engkau, Nak.”
Sebatang mercon meledak di dalam mata Ekalaya. Kegirangannya begitu nyata hingga dia mencium kaki Dorna dan segera berlari menembus hutan.
Setelah beberapa tahun, setelah putera Pandawa dan Kurawa mulai dewasa, sudah termaktubkan bahwa Arjuna dalah pemanah terbaik di seluruh jagat. Tak ada yang membantah, tak ada yang menantang. Dalam pertarungan besar maupun kecil, Arjuna akan tampil Berjaya dengan busur dan anak panahnya.
Syahdan, di hutan yang disiram warna ungu karena penuh sesak oleh mekarnya semak lavender, Arjuna dan Bima serta rombongan berburu tengah mengintai seekor kijang dari kejauhan. Baru saja Arjuna mempersiapkan anak panahnya, tiba-tiba saja: Tap! Tap! Tap!
Begitu cepat. Begitu lekas. Lima batang anak panah hampir sekaligus menancap di dada kijang yang malang. Kijang itu langsung tewas. Bukan hanya rombongan istana, tetapi terlebih Arjuna, pemanah terbaik sejagat itu, terpana sekaligus tersinggung sembari bertanya-tanya, siapa gerangan pemanah yang bisa menewaskan kijang ini dengan lima batang anak panah secara jitu. Para ksatria dan punggawa, apalagi Arjuna, tahu betul bahwa yang bisa memanah dengan lima anak panah tepat ke jantung sang kijang itu bukan pemanah sembarangan. Setelah berhasil mengatur nafas, Bima mengeluarkan geramannya, “Siapakah gerangan yang memanah? Apa Guru Dorna menyusul kita? Barangkali beliau ingin menguji?”
Pertanyaaan itu seolah ingin menghibur adindanya yang begitu kecewa karena merasa ada pemanah yang jauh lebih prima daripada dirinya. Dan jika itu Resi Dorna, maka tak mengapa, karena dialah sang guru.
Semak belukar ungu  lavender bergerak. Wajah Arjuna yang sudah kehilangan senyum semakin lonjong. Gelap termakan cemburu. Dia merasa itu pasti bukan Resi Dorna, karena gurunya pastilah member ujian dengan cara lain. Ini pasti ksatria lain. Arjuna mengikuti gerak-gerik dedaunan. Ketika dia menguak semak, terlihatlah seorang lelaki menjulang yang menyandang busur dan anak panah. Kulitnya berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Arjuna terpana. Hatinya semakin terbakar cemburu. Siapakah lelaki berkulit gelap bercahaya ini? Dan dari mana dia belajar memanah dengan begitu jitu?
“Siapakah engkau? tanya Bima yang sudah menyusul di belakang Arjuna.
“Ekalaya, putera Hiranyadanush.”
Arjuna mendekat dan nafasnya memburu. “Dari mana kau belajar memanah seperti ini?”
Dengan sepasang mata yang penuh bintang, Ekalaya menjawab, “Resi Dorna.”
Seluruh pepohonan di hutan itu bergetar karena raungan amarah Arjuna.
Ayah menghentikan kalimatnya.
“Apakah Ekalaya berbohong?” tanyaku.
“Tidak. Dia menciptakan sebuah patung Resi Dorna dan menyembahnya setiap hari sebelum mulai berlatih. Meski sebetulnya dia berlatih panah sendiri, dia merasa mendapatkan jiwa dan semangat dari bayang-bayang Dorna yang dia bangun sendiri hingga berhasil menjadi pemanah yang jauh lebih perkasa daripada Arjuna.”
Aku termenung, aku tahu betul cerita itu pasti belum berakhir di situ, karena dalam dunia Mahabharata, Arjuna tetap disebut sebagai pemanah terbaik sejagat. Apa yang terjadi dengan Ekalaya?
“Arjuna merajuk, mengadu pada Dorna. Dorna kemudian menemui Ekalaya dan terkejut bahwa ada seorang lelaki yang bisa belajar dari jauh  tanpa harus bertemu dan berhadapan dengannya. Antara rasa kaget, bangga, tapi lantas jengkel karena tahu dia harus segera membereskan rajukan anak manja seperti Arjuna.”
Suara Ayah tampak semakin keras dan mengandung kemarahan. “Sebagaimana biasanya tradisi antara guru dan murid yang baru selesai dilimpahkan ilmunya, maka akan terjadi peristiwa guru-dakshina.”
“Apa itu guru-dakshina, Ayah?”
“Sebuah pemberian formal dari seorang murid kepada gurunya setelah ajarannya komplit.”
“Dan Resi Dorna managih guru-dakshina kepada Ekalaya?” tanyaku menebak.
“Ya,” Ayah menahan jatuhnya air mata.
“Apa, Yah…”
“Dorna meminta Ekalaya memotong ibu jari tangan kanannya lalu diserahkan kepada sang guru.”
Aku terdiam beberapa detik, lalu tersentak menyadari. Ibu jari adalah bagian terpenting untuk seorang pemanah.
Ekalaya, seorang yang patuh, tentu saja dengan senang hati mengabulkan permintaan Dorna dan langsung saja memenggal ibu jarinya. Selanjutnya, meski tetap memanah dengan empat jari, Ekalaya bukan lagi pemanah jitu seperti sebelumnya. Dan Arjuna kembali berada di puncak ektase: dialah pemnah terbaik di seluruh jagat.
***
Hanya beberapa bulan setelah Ayah dan Maman berpisah, aku mulai merasakan “ada sesuatu” antara Ayah dan Indonesia yang tak bisa tergantikan oleh apa pun dan siapa pun. Aku baru menyadari bahwa setiap tahun Ayah rutin mencoba mengajukan  permohonan visa untuk masuk ke Indonesia. Tentu saja sebagai seseorang yang mendapat suaka politik Ayah--seperti juga kawan-kawannya--sudah meggunakan paspor Prancis. Namun berbeda dengan Om Risjaf yang entah bagaimana bisa mendapatkan visa, permohona Ayah, Om Nug, dan Om Tjai selalu ditolak.
Mereka tak pernah memberi alasan yang jelas. Om Risjaf juga tak paham dengan diskriminasi ini, padahal dia juga bagian dari ‘geng’ Om Hananto yang bertemu di Havana dan dicabut paspornya.
Setiap kali mendengar berita bahwa permohonan mereka ditolak, Ayah memainkan wayang kulit Ekalaya dan mendalang sendiri. Lantas dia menyendiri di kamar membaca surat-surat lama, entah dari siapa karena itu pasti daerah pribadi yang tak ingin kusentuh. Kalau sudah begitu, aku yang sedang giliran bermalam di tempat Ayah akan mencoba memberi ruang kesedihan itu untuknya.
Baru belakangan aku bisa memahami ada sesuatu dalam diri Ekalaya yang membuat Ayah mencoba bertahan. Ekalaya ditolak berguru oleh Dorna dan dia tetap mencoba ‘berguru’ dengan caranya sendiri. Hingga Dorna mengkhianati Ekalaya, sang ksatria tetap menyembah dan menyerahkan potongan jarinya. Ekalaya tahu, meski ditolak sebagai murid Dorna, dia tidak ditolak oleh dunia panahan. Sesungguhnya dialah pemanah terbaik sejagat raya, meksi dalam Mahabharata Dorna tetap mengangkat Arjuna ke panggung sejarah hanya karena dia pilih kasih.
Ayah tahu, dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebabnya dia meletakkan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa genggam bubuk kunyit di stoples kedua di ruang tamu hanya untuk merasakan aroma Indonesia.

Menjelang usiaku yang ke-12, segala penolakan visa dan upacara mecium bau cengkih dan memainkan wayang kulit Ekalaya berulang, aku menyimpulkan: Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tetapi dia akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka.
Cukup panjang saya menjiplak plek-plek mengutip isi novel yang menceritakan Ekalaya. Maaf ya Mbak Leila kalau saya ngasih contekan tentang sisi Pulangnya kebanyakan, hehee. Sila beli bukunya jika ingin tahu keseluruhan cerita: Apakah Dimas bisa pulang ke tanah airnya?
Ilustrasi Ekalaya ketika menyerahkan ibu jarinya pada Resi Dorna
Kembali ke kedekatan saya dengan dunia wayang. Saya sama sekali buta tentang cerita perwayangan. Perkenalan saya pertama kali dengan dunia wayang bisa dibilang dari novel ini. Memang nama-nama seperti Arjuna, Bima, Srikandi, pernah saya dengar tapi saya tidak tahu apa yang mereka lakukan, mereka kenapa? I have no idea! Sedih banget ya nggak akrab sama cerita tentang Mahabharata (>.<")

Saya lebih kenal Arjuna sebagai si pencari cinta, bukan sebagai pemanah terbaik sejagat...
Akulah Arjunaaa..... aaaaa! Yang mencari cinta. Wahai wanitaa....aaaa! Cintailah akuuuu...
Setelah membaca Pulang, saya tertarik mencari tahu.

@putriku_

A novel: Pulang



Pulang. Saya jatuh cinta pada novel ini.

Sempat ragu awalnya memutuskan untuk beli atau tidak. Seorang wartawan yang saya follow di Twitter sempat merekomendasikan novel ini. Saya percaya selera dia bagus jadi saya mulai mempertimbangkan untuk beli. Beberapa kali saya ke toko buku melihat novel dengan sampul kuning itu. Membolak-balik buku. Membaca sekilas isinya dan akhirnya mengembalikanya ke rak buku.

Kayaknya novelnya ‘berat’.

Sampai akhirnya ketika mengantar Dhani, teman baru yang saya kenal ketika mengikuti pelatihan di Surabaya, ke toko buku di sebuah mall. Dhani si predator buku langsung kalap memilih buku-buku. Cekatan sekali, dia berjalan cepat dari satu rak ke rak lainnya karena beberapa menit lagi toko tutup. Saya hanya melihat-lihat saja. Tidak berencana membeli buku sampai saya melihat Dhani ‘menggondol’ banyak bacaan. Saya tidak ingat persisnya berapa. Mungkin lima buah, bisa juga lebih.

“Banyak banget, Dhan…”

“Iya. Soalnya di Makassar buku-buku ini belum ada. Distribusinya agak lama. Mumpung di Surabaya” Dhani nyengir kemudian berlalu menuju kasir.

Tidak mau kalah. Saya bergegas menuju rak dan mengambil dua buku untuk diboyong: Pulang dan Berjalan di Atas Cahaya. Dua-duanya karya wartawan Indonesia. Saya menyusul Dhani ke kasir untuk membayar.

Kali ini saya menceritakan Pulang doang yaa. Jujur saja, ketertarikan saya pada novel ini karena penulisnya, Leila S. Chudori adalah seorang wartawan. Sejauh ini, saya tidak pernah dikecewakan ketika peliput berita membuat buku. Kedua, novel ini menceritakan sejarah. Tema besar ceritanya tentang kehidupan para eksil politik atau yang dituduh sebagai pendukung PKI dengan latar Indonesia 30 September  1965, Prancis 1968 saat terjadi pergerakan mahsiswa di sana, dan Indonesia Mei 1998.

Sampul depan Pulang
Meskipun fiksi, tapi novel ini berdasarkan kisah nyata. Saya percaya penulis melakukan riset luar biasa. Terbukti dengan banyaknya referensi di lembaran akhir. Novel pertama yang menyertakan referensi yang pernah saya baca. Tidak cukup itu, Leila juga banyak mewawancarai orang-orang yang terlibat langsung dengan krisis politik Indonesia pada September 1965 - Mei 1998. Dia mengejar narasumber sampai ke Prancis. Hasilnya….. K.E.R.E.N!

Di awal, sempat mentok membacanya. Mungkin karena kepala saya belum beradaptasi dengan karya sastra ini. Tetapi setelah ketemu iramanya, saya tidak bisa berhenti. Butuh tenaga ekstra memang membacanya: sudut pandang yang berubah-ubah, dimulai dengan Hananto, kemudian Dimas, lalu Lintang, Vivienne, Alam, Bima, kadang dari sudut pandang orang ketiga yang segala tahu, serta alur cerita yang meloncat maju-mundur-maju, tetapi itu tidak menyurutkan semangat saya untuk sesegera mengkahatamkan Pulang, karena Leila menuturkannya dengan sangat apik.

Dimas Suryo dan putrinya, Lintang Utara adalah tokoh utama di novel ini.

Meskipun lama tinggal di Prancis, Dimas selalu ingin kembali ke Indonesia. Ketika itu, dia diutus untuk menghadiri konferensi jurnalis di luar negeri. Tapi dia tak pernah bisa kembali karena krisis politik yang melanda negeri. Dia ingin pulang ke tanah airnya. Tapi tidak bisa karena pemerintah Indonesia menolaknya. Dimas dituduh “orang kiri” atau simpatisan PKI.

Lintang adalah putri semata wayang Dimas dengan Vivienne Devaraux, seorang wanita Prancis dengan bola mata hijau biru yang membuat Dimas terkesima. Lintang lahir dan tumbuh dewasa di Paris, kota impian banyak orang.
Ayahnya berasal dari Indonesia. Bagi Lintang, Indonesia seperti nama negeri dalam mitos yang sering diceritakan orang tuanya, sahabat ayahnya atau dari buku dan dokumenter. Dia tidak "mengenal" Indonesia. Bahkan dia tidak pernah terpikir untuk menjejakkan kaki di tanah kelahirannya ayahnya. Meskipun begitu, darahnya berdesir ketika mendengar suara gamelan atau ketika ayahnya berkisah tentang cerita perwayangan.

Ada tokoh wayang yang saya kagumi dari tulisan ini. Sosok Ekalaya. Tidak seterkenal tokoh Arjuna, Bima, Srikandi atau Drupadi memang. Dimas Suryo mengaguminya. Saya juga jatuh cinta pada Ekalaya. Nanti saya tulis khusus tentang Ekalaya dalam Pulang.

Berbicara karakter, Leila sepertinya sangat memperhatikan watak setiap tokoh dalam ceritanya. Setiap tokoh mempunyai karakter yang kuat dan unik. Membekas. Saya menebak-nebak siapa tokoh ini dalam kehidupan nyata di sekeliling saya. Belakangan saya tahu, membangun karakter adalah bagian favorit Leila dalam menuis fiksi. Itu diutarakannya ketika menjadi narasumber workshop menulis fiksi di mana saya menjadi pesertanya. Alasan saya ikut workshop bukan untuk memperoleh ilmu menulis fiksi sebetulnya, tetapi karena saya penasaran dengan sosok si penulis, serta berharap novel saya ditanda tangani :p
Berharap tahun depan nama saya yang "mejeng" di kartu nama media itu :p
 Banyak hal baru yang saya dapatkan, misalnya kisah Mahabharata yang asing bagi saya sebelum membaca novel ini. Juga istilah-istilah pada masa Orba seperti bersih diri dan bersih lingkungan. Selain itu, ada yang “mengganggu” pikiran saya setelah membaca Pulang. Meskipun fiksi, saya merasa seperti membaca buku sejarah dengan cara yang menarik, karena memang karya fiksi ini dibuat berdasarkan peristiwa sejarah dari orang-orang yang sengaja diluputkan luput dari materi sejarah buku ajar sekolah.

Si penulis melakukan riset panjang. Dia membaca literatur, mengobrol dengan sejarawan, mewawancarai orang-orang yang terlibat, mengejar narasumber sama ke luar negeri demi Pulang. Seperti saya ulas sebelumnya, ini novel pertama yang saya baca yang menyertakan referensi! Ini fiksi apa skripsi??? Hehehee.

Pokoknya keren! Saya menyesali satu hal setelah membaca novel ini: kenapa dulu sempat pikir-pikir untuk beli.

Rabu, 23 Januari 2013

Reportase Investigasi

      Saya pernah bikin tulisan tentang reportase investigasi buat materi skripsi. Sayangnya ga kepake, hiks... Tapi kalau dibuang sayang. Jadinya tulisan ini sempat "mendekam" di laptop sampai akhirnya dirilis di blog.
        Kalau baca berita laporan investigasi karya wartawan sendiri tuh seneng deh. Bangga punya wartawan yang ulet, gigih, rajin dan berani ngambil resiko tentunya. Meskipun agak susah nemuin laporan investigasi di media massa sekarang ini, tapi ada beberapa media yang masih "berbaik hati" menghadirkan karya indah ini. Salah satunya majalah Tempo, my fav ones! :-D
      Sebagai pembuka, saya pakai prolognya acara Mata Najwa episode selidik jurnalis biar kelihatan keren, ahahahaa..... So, cekidot!


Menjadi wartawan adalah sebuah kekuasaan. Wartawan bisa menjadi seorang tiran atau pembuka tirai kebenaran. Ada yang menderita dan gila oleh kebohongan wartawan, ada pula investigasi wartawan menjatuhkan kewibawaan  kekuasaan. Watergate, buloggate, skandal Bre-x, penjara Artalita contoh investigasi yang memberi arti. Jurnalisme tanpa investigasi seperti kebudayaan tanpa tradisi.(1)
 
Cepatnya arus informasi membuat media massa semakin kompetitif. Media massa harus bertarung dengan sumber-sumber informasi non-tradisional seperti stasiun televisi khusus berita, program-program breaking news di televisi dan radio dan situs berita online. Belum lagi kemunculan jurnalis warga (citizen journalist) yang menulis berita melalui jejaring sosial, milis, situs dan blog pribadi.
Proses keusangan informasi berlangsung sangat cepat akibat derasnya arus informasi dari berbagai media massa maupun individu yang menjadi jurnalis warga.
Kompetisi tersebut berjalan ketat sehingga mendorong media massa bekerja dengan naluri aktual atau kesegaran yang tinggi. Akibatnya adalah tidak adanya kemendalaman laporan yang disuguhkan. Berita jenis in-depth reporting dan investigative reporting menjadi langka dalam pemberitaan media yang menekankan aktualitas tinggi.
Wartawan lapangan dituntut untuk segera mencari, mengumpulkan dan mengirimkan informasi tanpa memiliki cukup waktu untuk memahami kondisi-kondisi yang mungkin dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana sebuah peristiwa terjadi.(2) Pencari berita hanya menyajikan apa yang ada dipermukaan karena ruang gerak yang terbatas dan tuntutan aktualitas.
Situs berita online mengklaim bahwa semua peristiwa penting yang terjadi bisa dibaca di situs mereka sebagai yang tercepat dalam mengabarkan peristiwa daripada media cetak dan elektronik.
Beberapa media online mengizinkan wartawan lapangan tidak lagi menulis berita di kantor. Mereka hanya perlu menghubungi para redaktur kemudian memceritakan tentang apa yang terjadi. Setelah itu berita ditulis oleh tim penulis tersendiri. Imbasnya faktor keakuratan sering kali terabaikan, apalagi kemendalaman.(3) Pola penyajian berita semacam ini menyebabkan masyarakat terbiasa dengan berita langsung (straight news) yang berisi informasi-informasi ringkas dan langsung ke tujuan.
Berita ringkas yang disampaikan tidak selalu memenuhi unsur 5W+1H (what, when, where, who, why and how). Cukup memiliki unsur ‘apa’ dan ‘kapan’, atau minimal ada fakta, berita tersebut sudah layak diterbitkan. Akibat tuntutan kesegaran dan ketatnya kompetisi, banyak media yang memutuskan untuk tidak lagi memberi ruang bagi in-depth reporting dan investigative reporting.(4)
Wina Armada mengemukakan sebab-sebab perusahaan media atau wartawan enggan melakukan peliputan investigasi karena adanya penilaian bahwa liputan investigatif membutuhkan biaya tinggi dan menghabiskan banyak waktu. Selain itu, hasil akhir yang tidak jelas juga menjadi alasan insan pers malas melakukan kerja investigasi.
Setiap investigasi memang mengandung kemungkinan bahwa hasilnya ternyata tidak sedramatis yang diperkirakan. Hasil yang negatif tersebut juga seringkali disertai dengan keputusan bahwa hasil investigasi tersebut tidak layak diteruskan. Belum lagi resiko besar yang harus dihadapi. Maka tidak heran jika perusahaan media lebih senang menampilkan berita ringkas daripada memproduksi program investigasi karena menghabiskan banyak biaya, waktu dan energi.(5)
Hanya beberapa media massa yang memberi kesempatan bagi para jurnalisnya untuk membuat laporan komprehensif. Di televisi, laporan panjang  tersebut dikemas dalam program khusus berdurasi 30 menit seperti Metro Realitas (Metro TV) dan Sigi (SCTV). Namun, ada juga media yang menempelkannya secara berseri dalam program berita reguler sebagai laporan khusus seperti di Trans 7 dan RCTI.
Program investigasi memberikan informasi yang lebih lengkap dan mendalam mengenai suatu isu besar yang tidak cukup dibahas dalam dua atau tiga menit. Al Hester menyebutkan perlunya liputan investigasi adalah desakan untuk ‘suatu perubahan harus dilakukan’ dan ‘suatu perubahan harus terjadi. Oleh karena itu, menurut Seno Gumira Ajidarma beban ideologis liputan investigasi lebih berat dari liputan mendalam (in-depth reporting) yang mengembangkan unsur why (mengapa) dan how (bagaimana) dari rumus 5W+1H. Acuan lain yang membedakan antara liputan investigasi dengan liputan mendalam yaitu liputan investigasi menyangkut kepentingan umum dan terdapat indikasi perbuatan yang salah.(6)
Investigative berasal dari kata Latin vestigum yang berarti jejak kaki. Sedangkan reporting berasal dari bahasa Latin reportare, artinya membawa pulang sesuatu dari tempat tempat lain. Jadi, Investigative reporting atau laporan investigasi secara etimologi berarti membawa pulang jejak kaki dari tempat lain. Dari pengertian tersebut, Paul N Williams menganalogikan wartawan seperti pemburu predator. Wartawan mengikuti jejak langkah si predator untuk mengetahui keberadaan buruannya.(7) 
Wartawan Newsday Robert Greene menyebutkan liputan investigasi sebagai produk jurnalistik menyangkut kepentingan publik, namun dirahasiakan oleh mereka yang terlibat. Liputan investigasi ini minimal memiliki tiga elemen dasar: 
  1. liputan itu adalah ide orisinil dari wartawan, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh media 
  2. subyek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca suratkabar atau pemirsa televisi bersangkutan 
  3. ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.(8)
Ada perbedaan besar antara membuat liputan investigasi dengan melaporkan hasil investigasi yang dilakukan penyidik seperti KPK, polisi atau jaksa. Melakukan investigasi mengenai kasus korupsi yang menyeret beberapa nama politisi berbeda dengan hanya menyiarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh penyidik yang berwenang. Ada liputan yang sebenarnya hanya memberitakan hasil investigasi yang dilakukan aparat hukum, kemudian digadang-gadang sebagai produk invetigasi hanya karena memegang bocoran  Berita Acara Pemeriksaan (BAP) beberapa tersangka atau memperoleh fotokopi dokumen dari penyidik, lalu laporan tersebut dilaim sebagai produk investigasi.
Padahal sebenarnya, wartawannya hanya melaporkan ulang apa yang sudah ditemukan oleh penyidik. Temuan yang wartawan sajikan adalah temuan aparat, bukan upaya investigasinya sendiri, yang jika dilakukan bisa saja menguatkan fakta versi penyidik, atau justru membantahnya.
Meskipun demikian, wartawan yang menyelidiki ulang hasil temuan penyidik bukan berarti tidak bisa menghasilkan produk invetigasi. Bisa jadi, fakta yang didapatkan wartawan dapat lebih melengkapi, mempertajam atau membantah temuan-temuan aparat yang berwenang.(9)
Beberapa karya jurnalis Indonesia yang dilabeli investigasi menimbulkan perdebatan tentang layak atau tidaknya predikat tersebut disandang. Hanya sedikit yang disepakati bersama sebagai karya investigasi. Bondan Winarno menulis buku yang memuat hasil penyelidikannya mengenai skandal emas Bre-X di Busang Kalimantan Timur. Judul bukunya Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi. Bondan mengonstruksi fakta-fakta yang didapatnya melalui investigasi ke Kalimantan, Filipina dan Kanada untuk menelusuri seluk-beluk kasus penipuan pertambangan emas terbesar di Indonesia yang melibatkan perusahaan asal Kanada Bre-X. Karya tersebut disepakati sebagai produk liputan investigasi.(10)
Tayangan berita berdurasi tiga menit di televisi bisa jadi merupakan liputan investigasi. Karya investigasi bukan dinilai dari panjangnya laporan yang menghabiskan berlembar-lembar halaman di koran atau memerlukan durasi yang lama untuk tayangan televisi. Menurut Dandhy Dwi Laksono, hal tersebut terjadi karena adanya kerancuan mengenai dua hal: 
  • Investigasi sebagai produk atau karya jurnalistik
  • Investigasi sebagai teknik yang digunakan dalam meliput berita(11)
Wartawan yang menelusuri tentang kasus bakso tikus lalu merekam produksi bakso tersebut dengan kamera tersembunyi dinilai sebagai karya investigasi, padahal dia hanya menggunakan teknik investigasi. Memang wartawan tersebut melakukan salah satu teknik investigasi, akan tetapi laporannya belum tentu dinilai sebagai produk investigasi. Produk karya investigasi pasti menggunakan teknik investigasi dalam proses peliputannya. Namun, teknik investigasi belum tentu menghasilkan produk investigasi.
Beberapa hal seperti perlindungan narasumber, narasumber anonim, penyamaran, penggunaan kamera tersembunyi, hingga reka ulang kejadian (proses rekonstruksi) merupakan teknik-teknik investigasi yang bisa dilakukan wartawan. Kerja investigasi tersebut boleh dilakukan asalkan sesuai dengan kode etik jurnalistik. Ada dua kode etik yang menjadi pedoman wartawan Indonesia yaitu Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dikeluarkan oleh Dewan Pers dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dibuat oleh Komisi Penyaiaran Indonesia (KPI). Meskipun setipa organisasi wartawan memiliki kode etik sendiri, namun semuanya mengacu pada dua standar kode etik yang dibuat Dewan Pers da KPI.(12)
Ada beberapa elemen yang harus dipenuhi agar disebut sebagai produk investigasi:
1. Mengungkap kejahatan yang menyangkut kepentingan publik atau tindakan yang merugikan orang lain 
2. Kasus yang dikupas berskala luas dan sistematis (berkaitan atau mempunyai benang merah)
3. Menjawab semua pertanyaan penting yang muncul dan memetakan persoalannya dengan gambling
4. Mendudukkan aktor-aktor yang tetrlibat seperti pelaku kejahatan, kambing hitam, dan korban yang terlibat disertai bukti-bukti yang kuat
5. Publik dapat memehami kompleksitas masalah yang diangkat dan membuat keputusan berdasarkan laporan tersebut.(13)
Jika sebuah laporan panjang memiliki semua elemen seperti yang dijabarkan, berarti laporan tersebut adalah produk investigasi dan menggunakan teknik investigasi. Akan tetapi, jika laporanya tidak memenuhi kelima elemen, laporan tersebut bisa dikategorikan sebagai laporan mendalam (in-depth reporting).

Referensi

(1) Prolog Mata Najwa episode Selidik Jurnalis (Rabu, 25 Januari 2012)
(2) Ade Armando, et.al., Media dan Integrasi Sosial : Jembatan antar Umat Beragama (Jakarta : CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2011) h. 15-16
(3) Ibid., h. 16
(4) Tim Penyusun Adiwarta Sampoerna, Karya Terbaik Anugerah Adiwarta Sampoerna 2006-2010: Jejak Rekam Lima Tahun Karya Jurnalistik Terbaik Indonesia. (Jakarta : PT Grafindo Media Pratama, 2011), h. 18
(5) Septiawan Santana, Jurnalisme Investigasi (Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 2004), h.12
(6) Tim Penyusun Adiwarta Sampoerna, Op.cit., h. 18
(7) Septiawan Santana, Op.cit., h. 135
(8) Andreas Harsono, “Apa Itu Investigative Reporting,” artikel diakses pada 19 Maret 2012 pukul 19.30 WIB dari http://www.andreasharsono.net/1999/02/apa-itu-investigative-reporting.html
(9) Dandhy Dwi Laksono, Jurnalisme Investigasi (Bandung : Kaifa, 2010), h. 26
(10) Andreas Harsono, Loc.Cit.,
(11) Dwi Laksono, Op.cit., (Bandung : Kaifa, 2010) h. 21
(12) Ibid., h. 353
(13) Ibid., h. 23