Kamis, 12 Desember 2013
Dogmatis
Rabu, 11 Desember 2013
My First Interview : Outfit
1. Jurnalis
2. Pemilik travel agent
3. Relawan di konservasi terumbu karang, orang utan, panda, penyu dll.
Saya akhirnya menentukan mau pakai apa untuk wawancara siang nanti. Dengan atasan kemeja bekas kakak yang warnanya baby pink, jilbab pink tua punya adik saya, celana bahan warna abu-abu bergaya santai dan sepatu plastik warna coklat! Baru sadar kalau saya nggak punya flat shoes. Adanya flat shoes plastik :p
Saya menangkap sosok lelaki kurus, berkacamata, memakai kemeja biru dongker motif garis horizontal, celana bahan, berkaus kaki dan pakai sepatu kantoran. Untung saja sepatunya nggak disemir sampai kinclong pake sunlight :p
Minggu, 24 November 2013
Rindu, Nama Rasa Kurang Ajar Itu
Hanya itu yang terucap ketika saya berhasil merajai perasaan yang kacau-galau. Ibu diam saja. Dia seorang penerka yang hebat karena itu adalah respon terbaik yang saya inginkan. Saya tidak mau nasihat. Saya tidak mau pelukan. Saya tidak mau belaian di pundak, ataupun kepala. Itu akan membuat saya semakin tidak bisa mengontrol diri. Saya cuma mau dia tahu saya baik-baik saja.
Sabtu, 26 Oktober 2013
Move On di Tempat
Nyari pacar baru tapi yang apa-apanya mirip mantan itu judulnya move on di tempat. Ibarat kursi goyang nenek. Emang pindah sih gerak maju-mundur, tapi yaaa di situ-situ aja :)
Eh!
Selasa, 22 Oktober 2013
Suatu Malam di Rumah Sakit (2)
Emah, nenek saya masuk rumah sakit lagi. Dia meminta untuk dirawat di rumah sakit yang berbeda dari yang sebelumnya. Keinginan itu dituruti anak-anaknya karena Emah sedang mudah marah. Ganti dokter, ganti obat dan rumah sakitnya tidak lebih bagus. Tak apa yang penting Emah sehat.
Ketika masuk, bibi saya memesan kamar kelas 1. Sayangnya penuh, pun begitu dengan kelas 2. Terpaksa Emah menginap di kamar kelas 3 sampai ada pasien di kelas 1 yang keluar.
Seperti biasa, ibu kebagian jaga malam. Ya memang hanya ibu saya yang memungkinkan karena cuma beliau yang single fighter dan tidak punya anak kecil. Saya tentu saja harus menemani ibu. Misalnya dia tidak minta pun pasti saya ikut menginap untuk memastikan ibu makan dan cukup istirahat.
Mengingat pengalaman sebelumnya, Emah itu banyak maunya. Minta dipijat, dibalur balsem, dikipasi, ditabur bedak, diusap, kasur dinaikkan, dilap air hangat, minta susu de-el-el. Saya kasihan sama ibu, jadi mau saya bantu. Tapi yang terjadi keseringan saya tidur pulas :D
Manfaat keberadaan saya dipertanyakan selain sebagai ojek dan pengingat makannya ibu.
Tadi kami berangkat setelah magrib. Sesampainya di rumah sakit, saya dan ibu agak kaget mengetahui satu ruangan berisi 10 kasur! Kirain kelas 3 itu ditempati 4 pasien. Maklum sih ini kelas ekonomi. Sebenernya yang bikin kesel itu keadaan ruangan lebih mirip pasar daripada rumah sakit. Pasiennya satu, yang jaga se-RT.
Luas ruang untuk satu pasien sekira 2x3. Dikira-kira itu juga soalnya saya ga bawa meteran, hehe. Pokoknya sempit, hanya cukup kasur dan kursi lipat. Setiap ruang disekat dengan tirai. Jadi ya bunyi-bunyian dari kasur tetangga kedengaran.
Di depan terdengar suara Nike Ardila bernyanyi dari handphone, sengaja diloud speaker! Masih dari depan, terdengar tawa wanita yang ditahan-tahan agar tak terlalu keras. Di pojok dekat kamar mandi terdengar rumpi para lelaki yang tidak berusaha memelankan suaranya. Anak-anak berkeliaran. Teriakan dan tangisan mereka menambah "semarak" suasana.
Duh gusti, kok pada girang amat nginep di rumah sakit? Ini bukan tempat rekreasi keluarga kan ya?
Harus sering bilang permisi sambil tersenyum sungkan setiap mau ke kamar mandi atau keluar ruangan. Pasalnya para keluarga pasien "bergeletakan" di depan kamar mandi dan pintu keluar yang memang menyisakan ruang yang cukup buat tidur terlentang. Daripada tidur di jalan-jalan, saya mending begadang.
Malam ini sepertinya tidak akan bisa tidur. Sepertinya sih, tapi nggak jamin saya kuat melek semalaman. Soalnya di RS yang lama juga saya bilang bakalan susah merem tapi yang terjadi saya selalu berhasil bobok anggun di atas karpet yang keras :D
Sekitar jam 8 malam, pasien di samping kiri pulang. Kasurnya kosong. Waaak! Alhamdulillah, makasih ya Allah. Inikah kado buat anak sholehah yang berbakti pada orang tua? Tenang, tenang... anak sholehah yang dimaksud itu ibu, bukan saya.
Sudah jam 9 malam dan suasana hingar bingar mulai mereda. Pada cepat bobok yak semuanya biar besok nggak telat bangun pagi. Semoga cepat sembuh, Mah :)
Rabu, 02 Oktober 2013
Suatu Malam di Rumah Sakit
"Hmmm... Aromanya menggal banget setajam kapak! Hahaha"
Kalau mau jujur sih saya lebih suka wangi yang jadoel itu sih, tapi....
Tidak, tidak... saya adalah anak muda generasinya Agnes Monica. Saya pilih yang aromatherapy deh daripada dibilang berselera aki-nini :D
Bahas apa lagi ya? Nomor kamar sudah, minyak angin juga sudah. Duh! Ibu saya semakin terlelap, begitu pun nenek saya. Suasananya hening. Hanya sesekali terdengar langkah kali di luar kamar. Dugaan saya, mungkin itu suster yang sedang jaga malam. Tapi saya tidak memastikan kebenaran hal itu. Bukan karena takut lho ya, tiba-tiba pas saya melongok keluar, tahu-tahu susternya ngesot, bukan melangkah. Malas saja. Untuk apa nongkrongin orang yang lewat? ku-rang ker-ja-an *melambaikan tangan ke kamera*
Kamis, 04 Juli 2013
Tentang Ekalaya
Pada bab Lintang Utara, terselip bagian khusus untuk Ekalaya. Saya jatuh cinta pada Ekalaya. Maka, saya berikan “ruang” yang luas di sini untuk menceritakan tokoh wayang tersebut.
"Lalu, kenapa Ekalaya?" Tanyaku.
“Hanya dia yang bisa menandingi kemahiran panah Arjuna tanpa berguru pada Resi Dorna,” kata Ayah.
Pada kisah Ekalaya, menurut Ayah, kita melihat bagaimana seseorang bisa mencapai kesempurnaan ilmu tanpa harus berguru pada sang guru: bagaimana akhirnya pencapaian itu dia raih karena derasnya keinginan dari diri sendiri. Tentu saja cerita ini diawali oleh tokoh Ekalaya yang ingin mahir memanah di bawah ajaran Resi Dorna.
Aku ingat ketika Ayah menerima sebuah bingkisan titipan dari adiknya, Om Aji: wayang kulit Bima dan Ekalaya. Mata Ayah berkilat-kilat. Dia langsung menganggantung kedua helai sosok wayang kulit itu di tembok ruang tengah sembari mengatakan tokoh Ekalaya sukar dicari. Om Aji pasti mencarinya hingga ke pelosok Solo.
Begitulah. Di suatu malam yang gelap, lebih gelap daripada hitamnya malam tanpa bulan, Resi Dorna berjalan di hutan yang meruapkan aroma lotus. Seorang lelaki muda berkulit amat kelam hingga Resi Dorna terkejut melihat sinar mata yang mendadak mencegatnya.
“Siapa engkau anak muda?”
Seorang lelaki muda, begitu tinggi, begitu tegap, yang seluruh tubuhnya hanya terdiri dari otot dan kulit kenyal berwarna kelam, dengan satu gerakan yang anggun membungkuk sedalam-dalamnya. “Resi Dorna, guru dari segala guru, aku adalah Ekalaya. Putra Hiranyadanush.”
Resi Dorna setengah tak sabar, segera memotong kalimat yang diutarakan dengan penuh irama itu, “Ya, ya, ada apa, Nak?”
Masih menyembah, Ekalaya menyatakan keinginannya untuk berguru kepadanya, kepada sang maestro panah yang dipuja sejagat. Tanpa menanti sedetik pun, Resi Dorna menyatakan ia tak mungkin menjadi gurunya karena janji ekslusivitas kepada para putera Kuru. Tetapi yang tak diucapkan Dorna adalah, dia hanya ingin Arjuna yang menjadi pemanah terbaik di dunia.
Ekalaya pantang surut semangat. Di hadapannya adalah guru sepuh yang sudah lama ia paterikan dalam jantungnya. Tak mungkin Ekalaya membiarkan Dorna pergi sebelum dia mendapatkan sesuatu yang bisa digenggam.
“Guru…”
“Saya bukun gurumu.”
“Bagi hamba, engkau selalu Guruku. Paling tidak berilah restu kepada hamba, hamba mohon,” Ekalaya menyembah kak Resi Dorna, sang kakek tua itu akhirnya tersentuh juga. Ia mengusap kepala Ekalaya.
“Baiklah, kurestui engkau, Nak.”
Sebatang mercon meledak di dalam mata Ekalaya. Kegirangannya begitu nyata hingga dia mencium kaki Dorna dan segera berlari menembus hutan.
Setelah beberapa tahun, setelah putera Pandawa dan Kurawa mulai dewasa, sudah termaktubkan bahwa Arjuna dalah pemanah terbaik di seluruh jagat. Tak ada yang membantah, tak ada yang menantang. Dalam pertarungan besar maupun kecil, Arjuna akan tampil Berjaya dengan busur dan anak panahnya.
Syahdan, di hutan yang disiram warna ungu karena penuh sesak oleh mekarnya semak lavender, Arjuna dan Bima serta rombongan berburu tengah mengintai seekor kijang dari kejauhan. Baru saja Arjuna mempersiapkan anak panahnya, tiba-tiba saja: Tap! Tap! Tap!
Begitu cepat. Begitu lekas. Lima batang anak panah hampir sekaligus menancap di dada kijang yang malang. Kijang itu langsung tewas. Bukan hanya rombongan istana, tetapi terlebih Arjuna, pemanah terbaik sejagat itu, terpana sekaligus tersinggung sembari bertanya-tanya, siapa gerangan pemanah yang bisa menewaskan kijang ini dengan lima batang anak panah secara jitu. Para ksatria dan punggawa, apalagi Arjuna, tahu betul bahwa yang bisa memanah dengan lima anak panah tepat ke jantung sang kijang itu bukan pemanah sembarangan. Setelah berhasil mengatur nafas, Bima mengeluarkan geramannya, “Siapakah gerangan yang memanah? Apa Guru Dorna menyusul kita? Barangkali beliau ingin menguji?”
Pertanyaaan itu seolah ingin menghibur adindanya yang begitu kecewa karena merasa ada pemanah yang jauh lebih prima daripada dirinya. Dan jika itu Resi Dorna, maka tak mengapa, karena dialah sang guru.
Semak belukar ungu lavender bergerak. Wajah Arjuna yang sudah kehilangan senyum semakin lonjong. Gelap termakan cemburu. Dia merasa itu pasti bukan Resi Dorna, karena gurunya pastilah member ujian dengan cara lain. Ini pasti ksatria lain. Arjuna mengikuti gerak-gerik dedaunan. Ketika dia menguak semak, terlihatlah seorang lelaki menjulang yang menyandang busur dan anak panah. Kulitnya berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Arjuna terpana. Hatinya semakin terbakar cemburu. Siapakah lelaki berkulit gelap bercahaya ini? Dan dari mana dia belajar memanah dengan begitu jitu?
“Siapakah engkau?” tanya Bima yang sudah menyusul di belakang Arjuna.
“Ekalaya, putera Hiranyadanush.”
Arjuna mendekat dan nafasnya memburu. “Dari mana kau belajar memanah seperti ini?”
Dengan sepasang mata yang penuh bintang, Ekalaya menjawab, “Resi Dorna.”
Seluruh pepohonan di hutan itu bergetar karena raungan amarah Arjuna.
Ayah menghentikan kalimatnya.
“Apakah Ekalaya berbohong?” tanyaku.
“Tidak. Dia menciptakan sebuah patung Resi Dorna dan menyembahnya setiap hari sebelum mulai berlatih. Meski sebetulnya dia berlatih panah sendiri, dia merasa mendapatkan jiwa dan semangat dari bayang-bayang Dorna yang dia bangun sendiri hingga berhasil menjadi pemanah yang jauh lebih perkasa daripada Arjuna.”
Aku termenung, aku tahu betul cerita itu pasti belum berakhir di situ, karena dalam dunia Mahabharata, Arjuna tetap disebut sebagai pemanah terbaik sejagat. Apa yang terjadi dengan Ekalaya?
“Arjuna merajuk, mengadu pada Dorna. Dorna kemudian menemui Ekalaya dan terkejut bahwa ada seorang lelaki yang bisa belajar dari jauh tanpa harus bertemu dan berhadapan dengannya. Antara rasa kaget, bangga, tapi lantas jengkel karena tahu dia harus segera membereskan rajukan anak manja seperti Arjuna.”
Suara Ayah tampak semakin keras dan mengandung kemarahan. “Sebagaimana biasanya tradisi antara guru dan murid yang baru selesai dilimpahkan ilmunya, maka akan terjadi peristiwa guru-dakshina.”
“Apa itu guru-dakshina, Ayah?”
“Sebuah pemberian formal dari seorang murid kepada gurunya setelah ajarannya komplit.”
“Dan Resi Dorna managih guru-dakshina kepada Ekalaya?” tanyaku menebak.
“Ya,” Ayah menahan jatuhnya air mata.
“Apa, Yah…”
“Dorna meminta Ekalaya memotong ibu jari tangan kanannya lalu diserahkan kepada sang guru.”
Aku terdiam beberapa detik, lalu tersentak menyadari. Ibu jari adalah bagian terpenting untuk seorang pemanah.
Ekalaya, seorang yang patuh, tentu saja dengan senang hati mengabulkan permintaan Dorna dan langsung saja memenggal ibu jarinya. Selanjutnya, meski tetap memanah dengan empat jari, Ekalaya bukan lagi pemanah jitu seperti sebelumnya. Dan Arjuna kembali berada di puncak ektase: dialah pemnah terbaik di seluruh jagat.
***
Hanya beberapa bulan setelah Ayah dan Maman berpisah, aku mulai merasakan “ada sesuatu” antara Ayah dan Indonesia yang tak bisa tergantikan oleh apa pun dan siapa pun. Aku baru menyadari bahwa setiap tahun Ayah rutin mencoba mengajukan permohonan visa untuk masuk ke Indonesia. Tentu saja sebagai seseorang yang mendapat suaka politik Ayah--seperti juga kawan-kawannya--sudah meggunakan paspor Prancis. Namun berbeda dengan Om Risjaf yang entah bagaimana bisa mendapatkan visa, permohona Ayah, Om Nug, dan Om Tjai selalu ditolak.
Mereka tak pernah memberi alasan yang jelas. Om Risjaf juga tak paham dengan diskriminasi ini, padahal dia juga bagian dari ‘geng’ Om Hananto yang bertemu di Havana dan dicabut paspornya.
Setiap kali mendengar berita bahwa permohonan mereka ditolak, Ayah memainkan wayang kulit Ekalaya dan mendalang sendiri. Lantas dia menyendiri di kamar membaca surat-surat lama, entah dari siapa karena itu pasti daerah pribadi yang tak ingin kusentuh. Kalau sudah begitu, aku yang sedang giliran bermalam di tempat Ayah akan mencoba memberi ruang kesedihan itu untuknya.
Baru belakangan aku bisa memahami ada sesuatu dalam diri Ekalaya yang membuat Ayah mencoba bertahan. Ekalaya ditolak berguru oleh Dorna dan dia tetap mencoba ‘berguru’ dengan caranya sendiri. Hingga Dorna mengkhianati Ekalaya, sang ksatria tetap menyembah dan menyerahkan potongan jarinya. Ekalaya tahu, meski ditolak sebagai murid Dorna, dia tidak ditolak oleh dunia panahan. Sesungguhnya dialah pemanah terbaik sejagat raya, meksi dalam Mahabharata Dorna tetap mengangkat Arjuna ke panggung sejarah hanya karena dia pilih kasih.
Ayah tahu, dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebabnya dia meletakkan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa genggam bubuk kunyit di stoples kedua di ruang tamu hanya untuk merasakan aroma Indonesia.
Cukup panjang saya
Menjelang usiaku yang ke-12, segala penolakan visa dan upacara mecium bau cengkih dan memainkan wayang kulit Ekalaya berulang, aku menyimpulkan: Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tetapi dia akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka.
![]() |
Ilustrasi Ekalaya ketika menyerahkan ibu jarinya pada Resi Dorna |
Saya lebih kenal Arjuna sebagai si pencari cinta, bukan sebagai pemanah terbaik sejagat...
Akulah Arjunaaa..... aaaaa! Yang mencari cinta. Wahai wanitaa....aaaa! Cintailah akuuuu...Setelah membaca Pulang, saya tertarik mencari tahu.
@putriku_
A novel: Pulang
![]() |
Sampul depan Pulang |
![]() |
Berharap tahun depan nama saya yang "mejeng" di kartu nama media itu :p |
Pokoknya keren! Saya menyesali satu hal setelah membaca novel ini: kenapa dulu sempat pikir-pikir untuk beli.
Rabu, 23 Januari 2013
Reportase Investigasi
- liputan itu adalah ide orisinil dari wartawan, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh media
- subyek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca suratkabar atau pemirsa televisi bersangkutan
- ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.(8)
- Investigasi sebagai produk atau karya jurnalistik
- Investigasi sebagai teknik yang digunakan dalam meliput berita(11)
Referensi
(1) Prolog Mata Najwa episode Selidik Jurnalis (Rabu, 25 Januari 2012)(2) Ade Armando, et.al., Media dan Integrasi Sosial : Jembatan antar Umat Beragama (Jakarta : CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2011) h. 15-16
(3) Ibid., h. 16
(4) Tim Penyusun Adiwarta Sampoerna, Karya Terbaik Anugerah Adiwarta Sampoerna 2006-2010: Jejak Rekam Lima Tahun Karya Jurnalistik Terbaik Indonesia. (Jakarta : PT Grafindo Media Pratama, 2011), h. 18
(5) Septiawan Santana, Jurnalisme Investigasi (Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 2004), h.12
(6) Tim Penyusun Adiwarta Sampoerna, Op.cit., h. 18
(7) Septiawan Santana, Op.cit., h. 135
(8) Andreas Harsono, “Apa Itu Investigative Reporting,” artikel diakses pada 19 Maret 2012 pukul 19.30 WIB dari http://www.andreasharsono.net/1999/02/apa-itu-investigative-reporting.html
(9) Dandhy Dwi Laksono, Jurnalisme Investigasi (Bandung : Kaifa, 2010), h. 26
(10) Andreas Harsono, Loc.Cit.,
(11) Dwi Laksono, Op.cit., (Bandung : Kaifa, 2010) h. 21
(12) Ibid., h. 353
(13) Ibid., h. 23