Kamis, 04 Juli 2013

A novel: Pulang



Pulang. Saya jatuh cinta pada novel ini.

Sempat ragu awalnya memutuskan untuk beli atau tidak. Seorang wartawan yang saya follow di Twitter sempat merekomendasikan novel ini. Saya percaya selera dia bagus jadi saya mulai mempertimbangkan untuk beli. Beberapa kali saya ke toko buku melihat novel dengan sampul kuning itu. Membolak-balik buku. Membaca sekilas isinya dan akhirnya mengembalikanya ke rak buku.

Kayaknya novelnya ‘berat’.

Sampai akhirnya ketika mengantar Dhani, teman baru yang saya kenal ketika mengikuti pelatihan di Surabaya, ke toko buku di sebuah mall. Dhani si predator buku langsung kalap memilih buku-buku. Cekatan sekali, dia berjalan cepat dari satu rak ke rak lainnya karena beberapa menit lagi toko tutup. Saya hanya melihat-lihat saja. Tidak berencana membeli buku sampai saya melihat Dhani ‘menggondol’ banyak bacaan. Saya tidak ingat persisnya berapa. Mungkin lima buah, bisa juga lebih.

“Banyak banget, Dhan…”

“Iya. Soalnya di Makassar buku-buku ini belum ada. Distribusinya agak lama. Mumpung di Surabaya” Dhani nyengir kemudian berlalu menuju kasir.

Tidak mau kalah. Saya bergegas menuju rak dan mengambil dua buku untuk diboyong: Pulang dan Berjalan di Atas Cahaya. Dua-duanya karya wartawan Indonesia. Saya menyusul Dhani ke kasir untuk membayar.

Kali ini saya menceritakan Pulang doang yaa. Jujur saja, ketertarikan saya pada novel ini karena penulisnya, Leila S. Chudori adalah seorang wartawan. Sejauh ini, saya tidak pernah dikecewakan ketika peliput berita membuat buku. Kedua, novel ini menceritakan sejarah. Tema besar ceritanya tentang kehidupan para eksil politik atau yang dituduh sebagai pendukung PKI dengan latar Indonesia 30 September  1965, Prancis 1968 saat terjadi pergerakan mahsiswa di sana, dan Indonesia Mei 1998.

Sampul depan Pulang
Meskipun fiksi, tapi novel ini berdasarkan kisah nyata. Saya percaya penulis melakukan riset luar biasa. Terbukti dengan banyaknya referensi di lembaran akhir. Novel pertama yang menyertakan referensi yang pernah saya baca. Tidak cukup itu, Leila juga banyak mewawancarai orang-orang yang terlibat langsung dengan krisis politik Indonesia pada September 1965 - Mei 1998. Dia mengejar narasumber sampai ke Prancis. Hasilnya….. K.E.R.E.N!

Di awal, sempat mentok membacanya. Mungkin karena kepala saya belum beradaptasi dengan karya sastra ini. Tetapi setelah ketemu iramanya, saya tidak bisa berhenti. Butuh tenaga ekstra memang membacanya: sudut pandang yang berubah-ubah, dimulai dengan Hananto, kemudian Dimas, lalu Lintang, Vivienne, Alam, Bima, kadang dari sudut pandang orang ketiga yang segala tahu, serta alur cerita yang meloncat maju-mundur-maju, tetapi itu tidak menyurutkan semangat saya untuk sesegera mengkahatamkan Pulang, karena Leila menuturkannya dengan sangat apik.

Dimas Suryo dan putrinya, Lintang Utara adalah tokoh utama di novel ini.

Meskipun lama tinggal di Prancis, Dimas selalu ingin kembali ke Indonesia. Ketika itu, dia diutus untuk menghadiri konferensi jurnalis di luar negeri. Tapi dia tak pernah bisa kembali karena krisis politik yang melanda negeri. Dia ingin pulang ke tanah airnya. Tapi tidak bisa karena pemerintah Indonesia menolaknya. Dimas dituduh “orang kiri” atau simpatisan PKI.

Lintang adalah putri semata wayang Dimas dengan Vivienne Devaraux, seorang wanita Prancis dengan bola mata hijau biru yang membuat Dimas terkesima. Lintang lahir dan tumbuh dewasa di Paris, kota impian banyak orang.
Ayahnya berasal dari Indonesia. Bagi Lintang, Indonesia seperti nama negeri dalam mitos yang sering diceritakan orang tuanya, sahabat ayahnya atau dari buku dan dokumenter. Dia tidak "mengenal" Indonesia. Bahkan dia tidak pernah terpikir untuk menjejakkan kaki di tanah kelahirannya ayahnya. Meskipun begitu, darahnya berdesir ketika mendengar suara gamelan atau ketika ayahnya berkisah tentang cerita perwayangan.

Ada tokoh wayang yang saya kagumi dari tulisan ini. Sosok Ekalaya. Tidak seterkenal tokoh Arjuna, Bima, Srikandi atau Drupadi memang. Dimas Suryo mengaguminya. Saya juga jatuh cinta pada Ekalaya. Nanti saya tulis khusus tentang Ekalaya dalam Pulang.

Berbicara karakter, Leila sepertinya sangat memperhatikan watak setiap tokoh dalam ceritanya. Setiap tokoh mempunyai karakter yang kuat dan unik. Membekas. Saya menebak-nebak siapa tokoh ini dalam kehidupan nyata di sekeliling saya. Belakangan saya tahu, membangun karakter adalah bagian favorit Leila dalam menuis fiksi. Itu diutarakannya ketika menjadi narasumber workshop menulis fiksi di mana saya menjadi pesertanya. Alasan saya ikut workshop bukan untuk memperoleh ilmu menulis fiksi sebetulnya, tetapi karena saya penasaran dengan sosok si penulis, serta berharap novel saya ditanda tangani :p
Berharap tahun depan nama saya yang "mejeng" di kartu nama media itu :p
 Banyak hal baru yang saya dapatkan, misalnya kisah Mahabharata yang asing bagi saya sebelum membaca novel ini. Juga istilah-istilah pada masa Orba seperti bersih diri dan bersih lingkungan. Selain itu, ada yang “mengganggu” pikiran saya setelah membaca Pulang. Meskipun fiksi, saya merasa seperti membaca buku sejarah dengan cara yang menarik, karena memang karya fiksi ini dibuat berdasarkan peristiwa sejarah dari orang-orang yang sengaja diluputkan luput dari materi sejarah buku ajar sekolah.

Si penulis melakukan riset panjang. Dia membaca literatur, mengobrol dengan sejarawan, mewawancarai orang-orang yang terlibat, mengejar narasumber sama ke luar negeri demi Pulang. Seperti saya ulas sebelumnya, ini novel pertama yang saya baca yang menyertakan referensi! Ini fiksi apa skripsi??? Hehehee.

Pokoknya keren! Saya menyesali satu hal setelah membaca novel ini: kenapa dulu sempat pikir-pikir untuk beli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar