Pulang. Saya jatuh cinta
pada novel ini.
Sempat ragu awalnya memutuskan untuk beli atau tidak. Seorang wartawan
yang saya follow di Twitter sempat merekomendasikan novel ini. Saya
percaya selera dia bagus jadi saya mulai mempertimbangkan untuk beli. Beberapa
kali saya ke toko buku melihat novel dengan sampul kuning itu. Membolak-balik
buku. Membaca sekilas isinya dan akhirnya mengembalikanya ke rak buku.
Kayaknya novelnya ‘berat’.
Sampai akhirnya ketika mengantar Dhani,
teman baru yang saya kenal ketika mengikuti pelatihan di Surabaya, ke toko buku
di sebuah mall. Dhani si predator buku langsung kalap memilih buku-buku. Cekatan
sekali, dia berjalan cepat dari satu rak ke rak lainnya karena beberapa menit lagi
toko tutup. Saya hanya melihat-lihat saja. Tidak berencana membeli buku sampai
saya melihat Dhani ‘menggondol’ banyak bacaan. Saya tidak ingat persisnya berapa. Mungkin lima buah, bisa juga lebih.
“Banyak banget, Dhan…”
“Iya. Soalnya di Makassar
buku-buku ini belum ada. Distribusinya agak lama. Mumpung di Surabaya” Dhani nyengir
kemudian berlalu menuju kasir.
Tidak mau kalah. Saya bergegas
menuju rak dan mengambil dua buku untuk diboyong: Pulang dan Berjalan di
Atas Cahaya. Dua-duanya karya wartawan Indonesia. Saya menyusul Dhani ke
kasir untuk membayar.
Kali ini saya menceritakan Pulang doang yaa. Jujur saja, ketertarikan saya
pada novel ini karena penulisnya, Leila S. Chudori adalah seorang wartawan.
Sejauh ini, saya tidak pernah dikecewakan ketika peliput berita membuat buku. Kedua, novel ini menceritakan sejarah. Tema besar ceritanya tentang kehidupan
para eksil politik atau yang dituduh sebagai pendukung PKI dengan latar
Indonesia 30 September 1965, Prancis
1968 saat terjadi pergerakan mahsiswa di sana, dan Indonesia Mei 1998.
![]() |
Sampul depan Pulang |
Meskipun fiksi, tapi novel ini
berdasarkan kisah nyata. Saya percaya penulis melakukan riset luar biasa. Terbukti
dengan banyaknya referensi di lembaran akhir. Novel pertama yang menyertakan
referensi yang pernah saya baca. Tidak cukup itu, Leila juga banyak
mewawancarai orang-orang yang terlibat langsung dengan krisis politik Indonesia
pada September 1965 - Mei 1998. Dia mengejar narasumber sampai ke Prancis.
Hasilnya….. K.E.R.E.N!
Di awal, sempat mentok membacanya. Mungkin
karena kepala saya belum beradaptasi dengan karya sastra ini. Tetapi setelah
ketemu iramanya, saya tidak bisa berhenti. Butuh tenaga ekstra memang membacanya: sudut pandang yang berubah-ubah, dimulai dengan Hananto, kemudian
Dimas, lalu Lintang, Vivienne, Alam, Bima, kadang dari sudut pandang orang ketiga
yang segala tahu, serta alur cerita yang meloncat maju-mundur-maju, tetapi itu tidak
menyurutkan semangat saya untuk sesegera mengkahatamkan Pulang, karena Leila menuturkannya dengan sangat apik.
Dimas Suryo dan putrinya, Lintang
Utara adalah tokoh utama di novel ini.
Meskipun lama tinggal di Prancis,
Dimas selalu ingin kembali ke Indonesia. Ketika itu, dia diutus untuk
menghadiri konferensi jurnalis di luar negeri. Tapi dia tak pernah bisa kembali
karena krisis politik yang melanda negeri. Dia ingin pulang ke tanah
airnya. Tapi tidak bisa karena pemerintah Indonesia menolaknya. Dimas dituduh “orang
kiri” atau simpatisan PKI.
Lintang adalah putri semata
wayang Dimas dengan Vivienne Devaraux, seorang wanita Prancis dengan bola mata hijau biru yang membuat Dimas terkesima. Lintang lahir
dan tumbuh dewasa di Paris, kota impian banyak orang.
Ayahnya berasal dari Indonesia. Bagi Lintang, Indonesia seperti nama negeri dalam mitos yang
sering diceritakan orang tuanya, sahabat ayahnya atau dari buku dan dokumenter.
Dia tidak "mengenal" Indonesia. Bahkan dia tidak pernah terpikir untuk menjejakkan kaki di tanah kelahirannya ayahnya. Meskipun begitu, darahnya berdesir ketika mendengar suara gamelan atau ketika
ayahnya berkisah tentang cerita perwayangan.
Ada tokoh wayang yang saya kagumi
dari tulisan ini. Sosok Ekalaya. Tidak seterkenal tokoh Arjuna, Bima, Srikandi
atau Drupadi memang. Dimas Suryo mengaguminya. Saya juga jatuh cinta pada Ekalaya.
Nanti saya tulis khusus tentang Ekalaya dalam Pulang.
Berbicara karakter, Leila
sepertinya sangat memperhatikan watak setiap tokoh dalam ceritanya. Setiap tokoh
mempunyai karakter yang kuat dan unik. Membekas. Saya menebak-nebak siapa
tokoh ini dalam kehidupan nyata di sekeliling saya. Belakangan saya tahu, membangun
karakter adalah bagian favorit Leila dalam menuis fiksi. Itu diutarakannya
ketika menjadi narasumber workshop menulis fiksi di mana saya menjadi
pesertanya. Alasan saya ikut workshop bukan untuk memperoleh ilmu menulis fiksi sebetulnya,
tetapi karena saya penasaran dengan sosok si penulis, serta berharap
novel saya ditanda tangani :p
![]() |
Berharap tahun depan nama saya yang "mejeng" di kartu nama media itu :p |
Banyak hal baru yang saya
dapatkan, misalnya kisah Mahabharata yang asing bagi saya sebelum membaca novel
ini. Juga istilah-istilah pada masa Orba seperti bersih diri dan bersih
lingkungan. Selain itu, ada yang “mengganggu” pikiran saya setelah membaca Pulang.
Meskipun fiksi, saya merasa seperti membaca buku sejarah dengan cara yang
menarik, karena memang karya fiksi ini dibuat berdasarkan peristiwa sejarah dari
orang-orang yang sengaja diluputkan luput dari materi sejarah buku ajar sekolah.
Si penulis melakukan riset
panjang. Dia membaca literatur, mengobrol dengan sejarawan, mewawancarai
orang-orang yang terlibat, mengejar narasumber sama ke luar negeri demi Pulang.
Seperti saya ulas sebelumnya, ini novel pertama yang saya baca yang menyertakan
referensi! Ini fiksi apa skripsi??? Hehehee.
Pokoknya keren! Saya menyesali satu hal setelah membaca novel ini: kenapa dulu sempat pikir-pikir untuk beli.
Pokoknya keren! Saya menyesali satu hal setelah membaca novel ini: kenapa dulu sempat pikir-pikir untuk beli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar