Rabu, 23 Januari 2013

Reportase Investigasi

      Saya pernah bikin tulisan tentang reportase investigasi buat materi skripsi. Sayangnya ga kepake, hiks... Tapi kalau dibuang sayang. Jadinya tulisan ini sempat "mendekam" di laptop sampai akhirnya dirilis di blog.
        Kalau baca berita laporan investigasi karya wartawan sendiri tuh seneng deh. Bangga punya wartawan yang ulet, gigih, rajin dan berani ngambil resiko tentunya. Meskipun agak susah nemuin laporan investigasi di media massa sekarang ini, tapi ada beberapa media yang masih "berbaik hati" menghadirkan karya indah ini. Salah satunya majalah Tempo, my fav ones! :-D
      Sebagai pembuka, saya pakai prolognya acara Mata Najwa episode selidik jurnalis biar kelihatan keren, ahahahaa..... So, cekidot!


Menjadi wartawan adalah sebuah kekuasaan. Wartawan bisa menjadi seorang tiran atau pembuka tirai kebenaran. Ada yang menderita dan gila oleh kebohongan wartawan, ada pula investigasi wartawan menjatuhkan kewibawaan  kekuasaan. Watergate, buloggate, skandal Bre-x, penjara Artalita contoh investigasi yang memberi arti. Jurnalisme tanpa investigasi seperti kebudayaan tanpa tradisi.(1)
 
Cepatnya arus informasi membuat media massa semakin kompetitif. Media massa harus bertarung dengan sumber-sumber informasi non-tradisional seperti stasiun televisi khusus berita, program-program breaking news di televisi dan radio dan situs berita online. Belum lagi kemunculan jurnalis warga (citizen journalist) yang menulis berita melalui jejaring sosial, milis, situs dan blog pribadi.
Proses keusangan informasi berlangsung sangat cepat akibat derasnya arus informasi dari berbagai media massa maupun individu yang menjadi jurnalis warga.
Kompetisi tersebut berjalan ketat sehingga mendorong media massa bekerja dengan naluri aktual atau kesegaran yang tinggi. Akibatnya adalah tidak adanya kemendalaman laporan yang disuguhkan. Berita jenis in-depth reporting dan investigative reporting menjadi langka dalam pemberitaan media yang menekankan aktualitas tinggi.
Wartawan lapangan dituntut untuk segera mencari, mengumpulkan dan mengirimkan informasi tanpa memiliki cukup waktu untuk memahami kondisi-kondisi yang mungkin dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana sebuah peristiwa terjadi.(2) Pencari berita hanya menyajikan apa yang ada dipermukaan karena ruang gerak yang terbatas dan tuntutan aktualitas.
Situs berita online mengklaim bahwa semua peristiwa penting yang terjadi bisa dibaca di situs mereka sebagai yang tercepat dalam mengabarkan peristiwa daripada media cetak dan elektronik.
Beberapa media online mengizinkan wartawan lapangan tidak lagi menulis berita di kantor. Mereka hanya perlu menghubungi para redaktur kemudian memceritakan tentang apa yang terjadi. Setelah itu berita ditulis oleh tim penulis tersendiri. Imbasnya faktor keakuratan sering kali terabaikan, apalagi kemendalaman.(3) Pola penyajian berita semacam ini menyebabkan masyarakat terbiasa dengan berita langsung (straight news) yang berisi informasi-informasi ringkas dan langsung ke tujuan.
Berita ringkas yang disampaikan tidak selalu memenuhi unsur 5W+1H (what, when, where, who, why and how). Cukup memiliki unsur ‘apa’ dan ‘kapan’, atau minimal ada fakta, berita tersebut sudah layak diterbitkan. Akibat tuntutan kesegaran dan ketatnya kompetisi, banyak media yang memutuskan untuk tidak lagi memberi ruang bagi in-depth reporting dan investigative reporting.(4)
Wina Armada mengemukakan sebab-sebab perusahaan media atau wartawan enggan melakukan peliputan investigasi karena adanya penilaian bahwa liputan investigatif membutuhkan biaya tinggi dan menghabiskan banyak waktu. Selain itu, hasil akhir yang tidak jelas juga menjadi alasan insan pers malas melakukan kerja investigasi.
Setiap investigasi memang mengandung kemungkinan bahwa hasilnya ternyata tidak sedramatis yang diperkirakan. Hasil yang negatif tersebut juga seringkali disertai dengan keputusan bahwa hasil investigasi tersebut tidak layak diteruskan. Belum lagi resiko besar yang harus dihadapi. Maka tidak heran jika perusahaan media lebih senang menampilkan berita ringkas daripada memproduksi program investigasi karena menghabiskan banyak biaya, waktu dan energi.(5)
Hanya beberapa media massa yang memberi kesempatan bagi para jurnalisnya untuk membuat laporan komprehensif. Di televisi, laporan panjang  tersebut dikemas dalam program khusus berdurasi 30 menit seperti Metro Realitas (Metro TV) dan Sigi (SCTV). Namun, ada juga media yang menempelkannya secara berseri dalam program berita reguler sebagai laporan khusus seperti di Trans 7 dan RCTI.
Program investigasi memberikan informasi yang lebih lengkap dan mendalam mengenai suatu isu besar yang tidak cukup dibahas dalam dua atau tiga menit. Al Hester menyebutkan perlunya liputan investigasi adalah desakan untuk ‘suatu perubahan harus dilakukan’ dan ‘suatu perubahan harus terjadi. Oleh karena itu, menurut Seno Gumira Ajidarma beban ideologis liputan investigasi lebih berat dari liputan mendalam (in-depth reporting) yang mengembangkan unsur why (mengapa) dan how (bagaimana) dari rumus 5W+1H. Acuan lain yang membedakan antara liputan investigasi dengan liputan mendalam yaitu liputan investigasi menyangkut kepentingan umum dan terdapat indikasi perbuatan yang salah.(6)
Investigative berasal dari kata Latin vestigum yang berarti jejak kaki. Sedangkan reporting berasal dari bahasa Latin reportare, artinya membawa pulang sesuatu dari tempat tempat lain. Jadi, Investigative reporting atau laporan investigasi secara etimologi berarti membawa pulang jejak kaki dari tempat lain. Dari pengertian tersebut, Paul N Williams menganalogikan wartawan seperti pemburu predator. Wartawan mengikuti jejak langkah si predator untuk mengetahui keberadaan buruannya.(7) 
Wartawan Newsday Robert Greene menyebutkan liputan investigasi sebagai produk jurnalistik menyangkut kepentingan publik, namun dirahasiakan oleh mereka yang terlibat. Liputan investigasi ini minimal memiliki tiga elemen dasar: 
  1. liputan itu adalah ide orisinil dari wartawan, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh media 
  2. subyek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca suratkabar atau pemirsa televisi bersangkutan 
  3. ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.(8)
Ada perbedaan besar antara membuat liputan investigasi dengan melaporkan hasil investigasi yang dilakukan penyidik seperti KPK, polisi atau jaksa. Melakukan investigasi mengenai kasus korupsi yang menyeret beberapa nama politisi berbeda dengan hanya menyiarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh penyidik yang berwenang. Ada liputan yang sebenarnya hanya memberitakan hasil investigasi yang dilakukan aparat hukum, kemudian digadang-gadang sebagai produk invetigasi hanya karena memegang bocoran  Berita Acara Pemeriksaan (BAP) beberapa tersangka atau memperoleh fotokopi dokumen dari penyidik, lalu laporan tersebut dilaim sebagai produk investigasi.
Padahal sebenarnya, wartawannya hanya melaporkan ulang apa yang sudah ditemukan oleh penyidik. Temuan yang wartawan sajikan adalah temuan aparat, bukan upaya investigasinya sendiri, yang jika dilakukan bisa saja menguatkan fakta versi penyidik, atau justru membantahnya.
Meskipun demikian, wartawan yang menyelidiki ulang hasil temuan penyidik bukan berarti tidak bisa menghasilkan produk invetigasi. Bisa jadi, fakta yang didapatkan wartawan dapat lebih melengkapi, mempertajam atau membantah temuan-temuan aparat yang berwenang.(9)
Beberapa karya jurnalis Indonesia yang dilabeli investigasi menimbulkan perdebatan tentang layak atau tidaknya predikat tersebut disandang. Hanya sedikit yang disepakati bersama sebagai karya investigasi. Bondan Winarno menulis buku yang memuat hasil penyelidikannya mengenai skandal emas Bre-X di Busang Kalimantan Timur. Judul bukunya Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi. Bondan mengonstruksi fakta-fakta yang didapatnya melalui investigasi ke Kalimantan, Filipina dan Kanada untuk menelusuri seluk-beluk kasus penipuan pertambangan emas terbesar di Indonesia yang melibatkan perusahaan asal Kanada Bre-X. Karya tersebut disepakati sebagai produk liputan investigasi.(10)
Tayangan berita berdurasi tiga menit di televisi bisa jadi merupakan liputan investigasi. Karya investigasi bukan dinilai dari panjangnya laporan yang menghabiskan berlembar-lembar halaman di koran atau memerlukan durasi yang lama untuk tayangan televisi. Menurut Dandhy Dwi Laksono, hal tersebut terjadi karena adanya kerancuan mengenai dua hal: 
  • Investigasi sebagai produk atau karya jurnalistik
  • Investigasi sebagai teknik yang digunakan dalam meliput berita(11)
Wartawan yang menelusuri tentang kasus bakso tikus lalu merekam produksi bakso tersebut dengan kamera tersembunyi dinilai sebagai karya investigasi, padahal dia hanya menggunakan teknik investigasi. Memang wartawan tersebut melakukan salah satu teknik investigasi, akan tetapi laporannya belum tentu dinilai sebagai produk investigasi. Produk karya investigasi pasti menggunakan teknik investigasi dalam proses peliputannya. Namun, teknik investigasi belum tentu menghasilkan produk investigasi.
Beberapa hal seperti perlindungan narasumber, narasumber anonim, penyamaran, penggunaan kamera tersembunyi, hingga reka ulang kejadian (proses rekonstruksi) merupakan teknik-teknik investigasi yang bisa dilakukan wartawan. Kerja investigasi tersebut boleh dilakukan asalkan sesuai dengan kode etik jurnalistik. Ada dua kode etik yang menjadi pedoman wartawan Indonesia yaitu Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dikeluarkan oleh Dewan Pers dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dibuat oleh Komisi Penyaiaran Indonesia (KPI). Meskipun setipa organisasi wartawan memiliki kode etik sendiri, namun semuanya mengacu pada dua standar kode etik yang dibuat Dewan Pers da KPI.(12)
Ada beberapa elemen yang harus dipenuhi agar disebut sebagai produk investigasi:
1. Mengungkap kejahatan yang menyangkut kepentingan publik atau tindakan yang merugikan orang lain 
2. Kasus yang dikupas berskala luas dan sistematis (berkaitan atau mempunyai benang merah)
3. Menjawab semua pertanyaan penting yang muncul dan memetakan persoalannya dengan gambling
4. Mendudukkan aktor-aktor yang tetrlibat seperti pelaku kejahatan, kambing hitam, dan korban yang terlibat disertai bukti-bukti yang kuat
5. Publik dapat memehami kompleksitas masalah yang diangkat dan membuat keputusan berdasarkan laporan tersebut.(13)
Jika sebuah laporan panjang memiliki semua elemen seperti yang dijabarkan, berarti laporan tersebut adalah produk investigasi dan menggunakan teknik investigasi. Akan tetapi, jika laporanya tidak memenuhi kelima elemen, laporan tersebut bisa dikategorikan sebagai laporan mendalam (in-depth reporting).

Referensi

(1) Prolog Mata Najwa episode Selidik Jurnalis (Rabu, 25 Januari 2012)
(2) Ade Armando, et.al., Media dan Integrasi Sosial : Jembatan antar Umat Beragama (Jakarta : CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2011) h. 15-16
(3) Ibid., h. 16
(4) Tim Penyusun Adiwarta Sampoerna, Karya Terbaik Anugerah Adiwarta Sampoerna 2006-2010: Jejak Rekam Lima Tahun Karya Jurnalistik Terbaik Indonesia. (Jakarta : PT Grafindo Media Pratama, 2011), h. 18
(5) Septiawan Santana, Jurnalisme Investigasi (Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 2004), h.12
(6) Tim Penyusun Adiwarta Sampoerna, Op.cit., h. 18
(7) Septiawan Santana, Op.cit., h. 135
(8) Andreas Harsono, “Apa Itu Investigative Reporting,” artikel diakses pada 19 Maret 2012 pukul 19.30 WIB dari http://www.andreasharsono.net/1999/02/apa-itu-investigative-reporting.html
(9) Dandhy Dwi Laksono, Jurnalisme Investigasi (Bandung : Kaifa, 2010), h. 26
(10) Andreas Harsono, Loc.Cit.,
(11) Dwi Laksono, Op.cit., (Bandung : Kaifa, 2010) h. 21
(12) Ibid., h. 353
(13) Ibid., h. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar