Saya pernah bikin tulisan tentang reportase investigasi buat materi skripsi. Sayangnya ga kepake, hiks... Tapi kalau dibuang sayang. Jadinya tulisan ini sempat "mendekam" di laptop sampai akhirnya dirilis di blog.
Kalau baca berita laporan investigasi karya wartawan sendiri tuh seneng deh. Bangga punya wartawan yang ulet, gigih, rajin dan berani ngambil resiko tentunya. Meskipun agak susah nemuin laporan investigasi di media massa sekarang ini, tapi ada beberapa media yang masih "berbaik hati" menghadirkan karya indah ini. Salah satunya majalah Tempo, my fav ones! :-D
Sebagai pembuka, saya pakai prolognya acara Mata Najwa episode selidik jurnalis biar kelihatan keren, ahahahaa..... So, cekidot!
Menjadi wartawan adalah sebuah kekuasaan.
Wartawan bisa menjadi seorang tiran atau pembuka tirai kebenaran. Ada yang
menderita dan gila oleh kebohongan wartawan, ada pula investigasi wartawan menjatuhkan
kewibawaan kekuasaan. Watergate, buloggate, skandal Bre-x, penjara Artalita contoh investigasi yang
memberi arti. Jurnalisme tanpa
investigasi seperti kebudayaan tanpa tradisi.(1)
Cepatnya arus informasi
membuat media massa semakin kompetitif. Media massa harus bertarung dengan
sumber-sumber informasi non-tradisional seperti stasiun televisi khusus berita,
program-program breaking news di
televisi dan radio dan situs berita online. Belum lagi kemunculan jurnalis
warga (citizen journalist) yang
menulis berita melalui jejaring sosial, milis, situs dan blog pribadi.
Proses
keusangan informasi berlangsung sangat cepat akibat derasnya arus informasi
dari berbagai media massa maupun individu yang menjadi jurnalis warga.
Kompetisi tersebut berjalan
ketat sehingga mendorong media massa bekerja dengan naluri aktual atau
kesegaran yang tinggi. Akibatnya adalah tidak adanya kemendalaman
laporan yang disuguhkan. Berita jenis in-depth
reporting dan investigative reporting
menjadi langka dalam pemberitaan media yang menekankan aktualitas tinggi.
Wartawan lapangan dituntut untuk segera mencari, mengumpulkan dan mengirimkan
informasi tanpa memiliki cukup waktu untuk memahami kondisi-kondisi yang
mungkin dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana sebuah peristiwa terjadi.(2) Pencari berita hanya
menyajikan apa yang ada dipermukaan karena ruang gerak yang terbatas dan
tuntutan aktualitas.
Situs berita online
mengklaim bahwa semua peristiwa penting yang terjadi bisa dibaca di situs
mereka sebagai yang tercepat dalam mengabarkan peristiwa daripada media cetak
dan elektronik.
Beberapa media online mengizinkan wartawan lapangan
tidak lagi menulis berita di kantor. Mereka hanya perlu menghubungi para
redaktur kemudian memceritakan tentang apa yang terjadi. Setelah itu berita
ditulis oleh tim penulis tersendiri. Imbasnya faktor keakuratan sering kali terabaikan,
apalagi kemendalaman.(3) Pola penyajian berita semacam
ini menyebabkan masyarakat terbiasa dengan berita langsung (straight news) yang berisi
informasi-informasi ringkas dan langsung ke tujuan.
Berita ringkas yang
disampaikan tidak selalu memenuhi unsur 5W+1H (what, when, where, who, why and how). Cukup memiliki unsur ‘apa’
dan ‘kapan’, atau minimal ada fakta, berita tersebut sudah layak diterbitkan.
Akibat tuntutan kesegaran dan ketatnya kompetisi, banyak media yang memutuskan
untuk tidak lagi memberi ruang bagi in-depth
reporting dan investigative reporting.(4)
Wina Armada mengemukakan
sebab-sebab perusahaan media atau wartawan enggan melakukan peliputan
investigasi karena adanya penilaian bahwa liputan investigatif membutuhkan
biaya tinggi dan menghabiskan banyak waktu. Selain itu, hasil
akhir yang tidak jelas juga menjadi alasan insan pers malas melakukan kerja
investigasi.
Setiap investigasi memang mengandung kemungkinan bahwa
hasilnya ternyata tidak sedramatis yang diperkirakan. Hasil yang negatif tersebut juga seringkali disertai dengan
keputusan bahwa hasil investigasi tersebut tidak layak diteruskan. Belum lagi resiko besar yang harus
dihadapi. Maka tidak heran jika perusahaan media lebih senang
menampilkan berita ringkas daripada memproduksi program investigasi karena
menghabiskan banyak biaya, waktu dan energi.(5)
Hanya beberapa media massa
yang memberi kesempatan bagi para jurnalisnya untuk membuat laporan
komprehensif. Di televisi, laporan panjang
tersebut dikemas dalam program khusus berdurasi 30 menit seperti Metro
Realitas (Metro TV) dan Sigi (SCTV). Namun, ada juga media
yang menempelkannya secara berseri dalam program berita reguler sebagai laporan
khusus seperti di Trans 7 dan RCTI.
Program investigasi memberikan informasi yang lebih lengkap dan
mendalam mengenai suatu isu besar yang tidak cukup dibahas dalam dua atau tiga
menit. Al Hester menyebutkan
perlunya liputan investigasi adalah desakan untuk ‘suatu perubahan harus
dilakukan’ dan ‘suatu perubahan harus terjadi. Oleh karena itu, menurut Seno
Gumira Ajidarma beban ideologis liputan investigasi lebih berat dari liputan
mendalam (in-depth reporting) yang
mengembangkan unsur why (mengapa) dan
how (bagaimana) dari rumus 5W+1H.
Acuan lain yang membedakan antara liputan investigasi dengan liputan mendalam
yaitu liputan investigasi menyangkut kepentingan umum dan terdapat indikasi perbuatan
yang salah.(6)
Investigative berasal dari kata Latin vestigum yang berarti
‘jejak kaki’. Sedangkan reporting berasal dari bahasa Latin reportare,
artinya ‘membawa pulang sesuatu
dari tempat tempat lain’.
Jadi, Investigative reporting atau laporan investigasi secara etimologi berarti membawa pulang jejak kaki dari tempat lain. Dari pengertian tersebut, Paul N Williams
menganalogikan wartawan seperti pemburu predator. Wartawan mengikuti jejak
langkah si predator untuk mengetahui keberadaan buruannya.(7)
Wartawan Newsday Robert
Greene menyebutkan liputan investigasi sebagai produk jurnalistik menyangkut kepentingan
publik, namun dirahasiakan
oleh mereka yang terlibat. Liputan
investigasi ini minimal memiliki tiga elemen dasar:
- liputan itu adalah ide orisinil dari wartawan, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh media
- subyek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca suratkabar atau pemirsa televisi bersangkutan
- ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.(8)
Ada perbedaan
besar antara membuat liputan investigasi dengan melaporkan hasil investigasi
yang dilakukan penyidik seperti KPK, polisi atau jaksa. Melakukan investigasi
mengenai kasus korupsi yang menyeret beberapa nama politisi berbeda dengan
hanya menyiarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh penyidik yang berwenang. Ada
liputan yang sebenarnya hanya memberitakan hasil investigasi yang dilakukan
aparat hukum, kemudian digadang-gadang sebagai produk invetigasi hanya karena
memegang bocoran Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) beberapa tersangka atau memperoleh fotokopi dokumen dari
penyidik, lalu laporan tersebut dilaim sebagai produk investigasi.
Padahal
sebenarnya, wartawannya hanya melaporkan ulang apa yang sudah ditemukan oleh
penyidik. Temuan yang wartawan sajikan adalah temuan aparat, bukan upaya
investigasinya sendiri, yang jika dilakukan bisa saja menguatkan fakta versi
penyidik, atau justru membantahnya.
Meskipun demikian, wartawan yang
menyelidiki ulang hasil temuan penyidik bukan berarti tidak bisa menghasilkan
produk invetigasi. Bisa jadi, fakta yang didapatkan wartawan dapat lebih
melengkapi, mempertajam atau membantah temuan-temuan aparat yang berwenang.(9)
Beberapa karya jurnalis Indonesia yang dilabeli investigasi menimbulkan
perdebatan tentang layak atau tidaknya predikat tersebut disandang. Hanya
sedikit yang disepakati bersama sebagai karya investigasi. Bondan Winarno menulis buku yang memuat hasil penyelidikannya
mengenai skandal emas Bre-X
di Busang Kalimantan Timur. Judul
bukunya Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki
Pelangi. Bondan mengonstruksi fakta-fakta yang didapatnya melalui
investigasi ke Kalimantan, Filipina dan Kanada untuk menelusuri seluk-beluk
kasus penipuan pertambangan emas terbesar di Indonesia yang melibatkan
perusahaan asal Kanada Bre-X. Karya tersebut disepakati sebagai produk liputan
investigasi.(10)
Tayangan berita berdurasi tiga
menit di televisi bisa jadi merupakan liputan
investigasi. Karya investigasi bukan dinilai dari panjangnya laporan yang
menghabiskan berlembar-lembar halaman di koran atau memerlukan durasi yang lama
untuk tayangan televisi. Menurut
Dandhy Dwi Laksono, hal tersebut terjadi karena adanya kerancuan mengenai dua
hal:
- Investigasi sebagai produk atau karya jurnalistik
- Investigasi sebagai teknik yang digunakan dalam meliput berita(11)
Wartawan yang menelusuri tentang kasus bakso tikus lalu merekam produksi
bakso tersebut dengan kamera tersembunyi dinilai sebagai karya investigasi, padahal dia hanya menggunakan
teknik investigasi. Memang wartawan tersebut melakukan salah satu teknik investigasi,
akan tetapi laporannya belum tentu dinilai sebagai produk investigasi. Produk karya
investigasi pasti menggunakan teknik investigasi dalam proses peliputannya.
Namun, teknik investigasi belum tentu menghasilkan produk investigasi.
Beberapa hal seperti perlindungan narasumber, narasumber anonim,
penyamaran, penggunaan kamera tersembunyi, hingga reka ulang kejadian (proses
rekonstruksi) merupakan teknik-teknik investigasi yang bisa dilakukan wartawan.
Kerja investigasi tersebut boleh dilakukan asalkan sesuai dengan kode etik
jurnalistik. Ada dua kode etik yang
menjadi pedoman wartawan Indonesia yaitu Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang
dikeluarkan oleh Dewan Pers dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran yang dibuat oleh Komisi Penyaiaran Indonesia (KPI). Meskipun setipa
organisasi wartawan memiliki kode etik sendiri, namun semuanya mengacu pada dua
standar kode etik yang dibuat Dewan Pers da KPI.(12)
Ada beberapa elemen yang harus dipenuhi agar disebut sebagai produk
investigasi:
1. Mengungkap kejahatan yang menyangkut kepentingan publik atau tindakan yang merugikan orang lain
2. Kasus yang dikupas berskala luas dan sistematis (berkaitan atau mempunyai benang merah)3. Menjawab semua pertanyaan penting yang muncul dan memetakan persoalannya dengan gambling
4. Mendudukkan aktor-aktor yang tetrlibat seperti pelaku kejahatan, kambing hitam, dan korban yang terlibat disertai bukti-bukti yang kuat
5. Publik dapat memehami kompleksitas masalah yang diangkat dan membuat keputusan berdasarkan laporan tersebut.(13)
Jika sebuah
laporan panjang memiliki semua elemen seperti yang dijabarkan, berarti laporan
tersebut adalah produk investigasi dan menggunakan teknik investigasi. Akan
tetapi, jika laporanya tidak memenuhi kelima elemen, laporan tersebut bisa
dikategorikan sebagai laporan mendalam (in-depth
reporting).
(2) Ade Armando, et.al., Media dan Integrasi Sosial : Jembatan antar Umat Beragama (Jakarta : CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2011) h. 15-16
(3) Ibid., h. 16
(4) Tim Penyusun Adiwarta Sampoerna, Karya Terbaik Anugerah Adiwarta Sampoerna 2006-2010: Jejak Rekam Lima Tahun Karya Jurnalistik Terbaik Indonesia. (Jakarta : PT Grafindo Media Pratama, 2011), h. 18
(5) Septiawan Santana, Jurnalisme Investigasi (Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 2004), h.12
(6) Tim Penyusun Adiwarta Sampoerna, Op.cit., h. 18
(7) Septiawan Santana, Op.cit., h. 135
(8) Andreas Harsono, “Apa Itu Investigative Reporting,” artikel diakses pada 19 Maret 2012 pukul 19.30 WIB dari http://www.andreasharsono.net/1999/02/apa-itu-investigative-reporting.html
(9) Dandhy Dwi Laksono, Jurnalisme Investigasi (Bandung : Kaifa, 2010), h. 26
(10) Andreas Harsono, Loc.Cit.,
(11) Dwi Laksono, Op.cit., (Bandung : Kaifa, 2010) h. 21
(12) Ibid., h. 353
(13) Ibid., h. 23
Referensi
(1) Prolog Mata Najwa episode Selidik Jurnalis (Rabu, 25 Januari 2012)(2) Ade Armando, et.al., Media dan Integrasi Sosial : Jembatan antar Umat Beragama (Jakarta : CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2011) h. 15-16
(3) Ibid., h. 16
(4) Tim Penyusun Adiwarta Sampoerna, Karya Terbaik Anugerah Adiwarta Sampoerna 2006-2010: Jejak Rekam Lima Tahun Karya Jurnalistik Terbaik Indonesia. (Jakarta : PT Grafindo Media Pratama, 2011), h. 18
(5) Septiawan Santana, Jurnalisme Investigasi (Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 2004), h.12
(6) Tim Penyusun Adiwarta Sampoerna, Op.cit., h. 18
(7) Septiawan Santana, Op.cit., h. 135
(8) Andreas Harsono, “Apa Itu Investigative Reporting,” artikel diakses pada 19 Maret 2012 pukul 19.30 WIB dari http://www.andreasharsono.net/1999/02/apa-itu-investigative-reporting.html
(9) Dandhy Dwi Laksono, Jurnalisme Investigasi (Bandung : Kaifa, 2010), h. 26
(10) Andreas Harsono, Loc.Cit.,
(11) Dwi Laksono, Op.cit., (Bandung : Kaifa, 2010) h. 21
(12) Ibid., h. 353
(13) Ibid., h. 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar