Senin, 20 Januari 2014

Pilihan Hidup

Cihuy! Akhirnya obsesi jadi jurnalis kesampean \^o^/
Rasanya seneng banget bangeeeet! Jadi pekerja media itu teenage dream yang terwujud.

Cita-cita kok cuma jadi jurnalis?
Iya sih cuma jadi kuli tinta doang... tapi bodo amat! Selera orang kan beda-beda. Termasuk soal profesi. Menjadi pekerja pers bagi saya adalah pilihan hidup #eaaa

Saya memilih kuliah di jurnalistik juga karena tujuannya mau jadi wartawan. Bukan asal kuliah. Bukan karena paksaan orang tua. Bukan karena ikut-ikutan orang. Bukan karena peluang kerjanya semakin luas di era informasi ini. Kata hati yang menuntun. Ih sumpah kata-katanya jijay banget, haghagcuih :p

Alhamdulillah saya dilahirkan di keluarga yang demokratis. Ibu saya memberikan kebebasan kepada anak-anak perempuannya memilih jurusan yang kami minati untuk kuliah. Pada saat itu, jurusan saya dan dua saudara perempuan saya memang nggak lazim di lingkungan rumah.

Kakak saya, Teh Ian, mengambil jurusan peternakan. Saya kuliah di jurnalistik. Sedangkan Icha, si bungsu memilih pendidikan teknik mesin. FYI, di kelasnya Si Icha, perempuannya cuma dia doang. Bagaikan perawan di sarang penyamun kali ya? hehe

Sebenernya ibu saya berharap salah satu anak perempuannya ada yang bergelut di bidang medis. Jadi dokter, perawat atau bidan gitu, seperti pilihan kebanyakan anak perempuan di lingkungan rumah, haha. Tapi kami semua takut darah, jarum suntik dan pisau bedah. (>.<)

Beberapa orang bertanya kenapa saya kuliah di jurnalistik, "emang peluang kerjanya bagus ya?"

I just wanna be a journalist. It's about passion. Sok iye bangetlah? haha, tapi emang iya begitu sih kenyataannya :p

Waktu saya kelas 3 SMA, beberapa temen yang memilih jurusan di universitas berdasarkan peluang kerja. Angkatan saya banyak yang mengambil IT, ekonomi, sastra Inggris, dan pendidikan. Yang perempuan banyak banget yang memilih jadi bidan. Landasannya ya ketersediaan lowongan pekerjaan itu: banyak dibutuhkan.

Kata salah satu temen kelas saya yang berniat kuliah di kebidanan sih biar bisa buka praktek di rumah. Bukan karena memang minatnya di sana. Tapi satu doang lho yang bilang gitu, hehee. Pasti banyak yang pengen jadi bidan karena panggilan jiwa, bukan pertimbangan materi, ya kan? *daripada ditimpukin bidan*

Saya memang punya kecenderungan bersikap datar menanggapi sesuatu. Cuma bergairah untuk hal-hal yang saya minati. Waktu SMA, saya pilih kasih sama pelajaran. Pas mau naik kelas XI, nilai saya nggak memenuhi kriteria kelas IPA. Nilai fisika, matematika, dan kimia mengerikaaaaan. Bikin sedih deh pokoknya.

Saya pun masuk IPS. Saat itu, derajat IPS seolah-olah lebih rendah dari IPA. Kalah gengsi. Biasalah, darah muda darahnya para remaja. Saya pun sempet terpengaruh soal strata kelas. Karena stigma itu, saya hampir mau memaksakan masuk IPA--yang waktu itu saya anggap lebih keren, bermartabat dan bermasa depan cerah. Seolah-olah bakalan cemerlang gitu kehidupan di kemudian hari. 2014 ini apakah anggapan itu masih berlaku saat ini? I don't know. Waktu tahun 2005-2008 sih masih berlaku, at least at my school :D

Udah niat mau pindah. Mau ngobrol sama guru BP. Tapi ketemu sama trio kwek-kwek yang bikin nestapa selama 3 tahun? Si fisika, kimia sama matematika yang bikin mencret-mencret itu?

Bakalan keseret-seret. Bakalan jadi tukang nyontek. Bakalan menggantungkan nilai-nilai rapot saya pada kemurahan teman yang rela kasih contekan.

Waktu itu, ibu agak mendorong saya melobi guru biar bisa pindah kelas. Beberapa teman yang tadinya di IPS berhasil loncat ke IPA. Teteh saya malah bilang keluarga kita keluarga IPA. Masuk jurusan sosial itu ibarat merusak garis keturunan, hehee. Woooo lebay :p

Tapi kan saya yang belajar. Saya yang bakal mengabiskan seharian duduk di kelas mengikuti pelajaran. Saya yang bakal menderita bikin PR yang angka-angkanya lebih banyak dari huruf. Saya yang akan menjalani itu semua. Betapa mengerikan!

Saya meyakinkan diri kalau di masa depan mau jadi pekerja media. Masuk jurnalistik itu nggak harus dari IPA. Kepala saya lebih waras dari darah muda darahnya para remaja. Saya pun pasrah terdampar di XI IPS 3. Tapi sial banget di kelas IPS masih ketemu matematika. Satu lagi yang ngeselin: akuntansi!
Otak saya emang nggak support buat angka-angka, kecuali ngitung duit beneran. Bukan duit imajiner kaya di akuntansi :p

Saya berkomitmen bakalan tanggung jawab dengan pilihan saya. Implementasinya, saya enggak bakal mencontek, juga akan membuat pekerjaan rumah DI RUMAH, untuk bidang studi sosial. Matematika sama akuntansi mah pengecualian, hahaha. Dua pelajaran itu nggak seharusnya di IPS :p *tendangin kalkulator*

Awalnya jadi golongan murid IPS agak berat. Pas upacara agak gimana gitu ada di barisan dengan makhluk-makhluk itu. Agak minder, hahaa. Alhamdulillah perasaan yang tidak pada tempatnya itu nggak berlangsung lama. Nggak sampai sebulan. I'm on the right track!

Sewaktu kuliah, kecenderungan pilih kasih itu masih berlaku. Kalau mata kuliah yang kurang saya suka (metlit, statistik, ilmu alamiah dasar adalah beberapa contohnya), saya ikuti dengan standar asal lulus. Biarin pas-pasan juga.

Tapi kalau mata kuliah jurnalistik saya belajarnya lebih serius. Liat-liat juga sih dosennya siapa, hehehe. Buat mata kuliah yang menarik hati dan dosennya membuat saya merasa mendapat sesuatu yang nggak ada di buku, saya belajar serius. Bikin makalahnya dengan segenap hati. Terus kalau dapet nilai jelek itu nyeseknya nggak ilang. Bisa sampai 3x puasa 3x lebaran. Dapet B aja sakit hati dan kesel sama diri sendiri. Bukan soal nilai sih. Lebih pada kepuasan. Tapi nilai dari dosen juga salah satu indikator apakah pekerjaan kta bagus atau nggak. Selain itu, apalagi?
Tidak ada orang yang jenius di semua bidang. Ketika kamu tidak bisa melalukan sesuatu, selalu ada orang lain yang bisa melakukannya untukmu.
Sepertinya petuah itu saya aplikasikan dengan cara yang salah, ya itu tadi pilih kasih sama sesuatu yang disuka doang. Dan nggak berusaha bisa mengerjakan sesuatu yang nggak diminati dengan sungguh-sungguh. Seadanya. Sekedarnya. Kalau nggak bisa atau nggak suka, biarin aja orang lain yang garap. Fokus sama yang kita suka dan mau. Eh, salah kaprah ini, jangan diikutin :D

Oia, lulus kuliah saya bekerja di bidang yang jauuuuuh banget sama dunia pers. Nggak nyambung. Saya ambil kesempatan itu semata-mata karena materi. Lulus kuliah saya malu kalau masih nyusu sama orang tua soal isi kantong. Pekerjaan ini, gajinya oke, jadwal kerja fleksibel, nggak pake banyak target.

How lucky I am! Baru lulus sidang, belum wisuda udah dapet kerja. Kata orang-orang sih gitu. Alhamdulillah :)

Tapi nepotisme nggak sih saya dapet kerjaan itu karena rekomendasi orang dalam? Perasaan itu ganggu banget (>.<)

Ditambah, saya baca status Facebook Medina Kamil, presenter Jejak Petualang yang ketje. Doi merasa beruntung banget pekerjaannya adalah passionnya. Dia dibayar untuk mengerjakan sesuatu yang disukai. Ah sumpah, ngiri!

Saya kan mau jadi jurnalis. Setelah habis kontrak di pekerjaan lama, saya berniat kembali ke pilihan hidup semula: cita-cita waktu masih ABG.

Dan inilah saya sekarang: seorang calon reporter (carep) di sebuah majalah nasional. Cuma carep, belum reporter. Tapi saya bahagia karena telah kembali ke jalan yang benar, hehee. Bukan cuma Medina Kamil yang beruntung, saya juga! :D

Tanggal 20 Januari 2014 jadi hari pertama masuk kerja. Selama seminggu, saya dan 12 orang carep lain ikut kelas belajar di media tempat kami bekerja.

Hari pertama merupakan masa orientasi atau perkenalan. Kami diajak berkeliling ke semua ruangan, dikenalkan kepada semua karyawan di sana. Setelah itu ada penjelasan soal visi, misi serta hal-hal yang berhubungan dengan SDM.

Girang banget waktu liat meja kerja yang akan saya tempati, dengan komputer sendiri. Saya udah membayangkan bakal masang foto siapa aja di ruang kecil bersekat itu. Saya hias pake pernak-pernik lucu. Harus banyak cemilan juga biar cepet gendut. Tahun ini harus naek minimal 5 kg. Wajib! Resolusi rutin yang nggak pernah tercapai dari tahun 2005 adalah naik berat badan. Saya cengar-cengir sendiri liat meja kosong itu. Singgasana gue! Hahahaa :p

Kelas belajar ini akan berlangsung sampai Rabu depan. Besok materinya tentang keredaksian, kode etik dan manajemen peliputan. Pasti bakalan seseru tadi. O my God! O my God! O my God I'm so excited!

Kita lihat ya kebahagiaan ini bertahan berapa lama. Seminggu? Sebulan? Hihihii, soalnya sepuluh hari setelah hari ini, kelas belajar berakhir. Para carep bakalan diterjunkan untuk meliput, mengejar narasumber dan harus tembus, bermesraan dengan deadline daaaan segala kariweuhan lainnya. Pas nanti mengalami itu, saya masih betah atau muntah darah?

Ah, pokoknya besok bakalan seru!!!

Soal pilihan hidup, saya harus mengakui saya bangga sama Icha, si adik kandung. Dia mengikuti kata hatinya daripada kebutuhan isi dompetnya. Ketika teman-temannya yang juga lulusan pendidikan lebih memilih kerja di swasta, biasanya sebagai pegawai bank, Icha memilih mengajar. Doi bukannya nggak punya kesempatan itu. Dari lamaran iseng-iseng yang dia kirim lewat jobstreet, dia lolos tes masuk bank swasta terbesar di Indonesia.

Gaji guru honorer berapa sih? Kalau dibandingin sama pegawai bank mah kemungkinan cuma setengahnya. Icha sempat bimbang soalnya bank tersebut di Indonesia masuk the best lah. Selain itu, teman-temannya yang pernah mengajar di sekolah maupun tempat bimbel, malah banyak yang banting stir jadi pegawai bank.

Tapi orang tua kita selalu mengajarkan uang tidak harus selalu di urutan pertama. Munafik kalau bilang kita nggak suka punya duit banyak. Cuman ya, uang bukan prioritas dibalik setiap pilihan hidup kita. Beruntung banget punya Bapak dan Ibu seperti mereka.

Si Icha sempet bimbang, soalnya bank yang menerimanya tergolong yang terbesar dan terbaik di Indonesia. Saya sempet memengaruhinya untuk melewatkan kesempatan itu, "jadi guru aja, Cha."

Menjadi pegawai bank tentu bukan pekerjaan tidak terhormat. Malah bagus. Cuma saya sangat mengenal adik saya dan potensi-potensinya selama kuliah. Sayang banget kalau ilmu yang dia serap selama bertahun-tahun kuliah, berakhir di balik meja. Menghitung uang atau melayani nasabah yang ingin buka rekening. Tapi ya, saya terlahir di keluarga yang nggak terbiasa dengan intervensi orang yang lebih tua. Dia yang menjalani adalah yang berhak milih mau jadi apa. Dan Icha memilih jalannya. Menjadi pendidik.
Wow! Kakaks bangga padamu, Diks :p

Soal pilihan hidup ini, saya juga juga harus bilang saya bangga sam pilihan sahabat saya, Dini. Dia meninggalkan pekerjaan yang baru dia geluti selama beberapa bulan, demi mengejar Eropa. Padahal, waktu dia mutusin resign, dia belum punya pekerjaan cadangan. Nekat memang, tapi itu pilihannya.

Sekarang, si sarjana sastra Inggris ini bekerja di sebuah travel agent cukup besar. Gajinya pun lebih besar dari pekerjaan lamanya. Tapi lagi-lagi ini soal bukan materi. Uang yang banyak, ya anggap aja bonus. Dia mencari jalannya menuju Benua Biru. Sebagai karyawan, dia bilang dia punya punya kesempatan untuk liburan dengan tiket gratis dari kantor.

"Boleh ke Eropa lho, Ut!" Saya ikutan bersorak girang waktu dia sampaikan itu. U're on the right track, keep on going sist!

Karena saya nyebut Dini, daripada digebukin karena sirik-sirikan, mungkin saya juga harus memuji pilihan berani yang Inay ambil. Waktu itu Inay cuma karyawan pabrik yang beruntung, dia ditarik ke bagian office karena supervisornya tau Inay sedang kuliah juga sambil bekerja. Lucky her!

Saat posisi Inay sudah lebih baik di tempat kerja, seorang lelaki dari masa lalu tiba-tiba datang. Tanpa basa-basi, dia mengajak Inay menikah. Keseriusan sang lelaki ditunjukkan dengan mendatangi orang tua, nggak lama dari ajakannya sama Inay. Waaah! He's so ready :D

Inay setuju. Dia juga bersedia keluar dari pekerjaannya agar fokus mengurus keluarga. Waktu mengajukan pengunduran diri, Si Bos menawari kenaikkan gaji. Inay juga diiming-imingi diangkat jadi karyawan tetap dalam waktu yang lebih cepat dari prosedur pengangkatan normal. Lagi-lagi, ini bukan soal duit. Inay memilih fokus pada kuliah dan calon keluarga kecilnya. Dia resign. Salut! Nay, semoga dilancarkan pilihan hidupnya. So proud of your big choice! *peyuk, ketjup batsah*

Khususon buat Meonk (harus disebut juga biar nggak terjadi keretakan hubungan :p ), doi kini sedang berusaha 'kembali ke jalan yang benar'. Kalau bicara soal tempat kerja, beuh! yang ngiler pengen di posisi si Meonk pasti banyak. Kerja di kantor pemerintahan yang wilayahnya 'basah' gitu lho. Tapi saya percaya Meonk akan putar arah. Dia lagi nyari jalan keluar sekarang. Semoga nyasarnya nggak kelamaan ya, Menk. Gud luck!

Catatan ini panjang banget yak. Mood nulis lagi asik banget. Eh nggak juga sih, gara-garanya di kost-an baru no tv no lepi. Belum dibawa karena waktu dateng cuma bawa badan sama baju buat seminggu. Untungnya punya hp pintar jadi nggak mati gaya banget :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar