Minggu, 30 November 2014

Marah

Sedang ingin marah-marah.
Kamu tidak bohong. Hanya menyembunyikan kebenaran. Dua hal yang saya anggap berbeda.
Lalu, apa dalil untuk melegitimasi kemarahan saya?
Bingung sendiri.
Gulungannya sudah di ubun-ubun. Yang menahan luapannya, hanya ketiadaan alasan. Butuh landasan biar marah-marahnya sah!
Kamu tidak bohong. Hanya menyembunyikan kebenaran.
Kalau sudah begini, saya harus bagaimana?
Karawang, 30 November 2014

Selasa, 04 Maret 2014

Transkrip

Awalnya, saya ngetik ini buat ditulis di pesbuk. Tapi panjang banget. Udah 100% selesai, saya cut ke blog *klarifikasi ga penting*

---

Pengen nge-blog, nulis apa aja yang dialamin sehari-hari. Pengen tinggal pengen.

Pas inget harus nulis berita yang ditugasin, niat 'meramaikan' blog -yang entah ada yang baca entah ga ada selain penulis- cuma sekedar niat.

Apa tadi? Nulis berita?
Bikin transkrip wawancara yang kemarin aja belom.

Durasinya 58 menit. Kemarin sempet nyicil sampe menit ke 21. Itu aja udah 6 lembar, soalnya si narasumber termasuk orang yang bicaranya cepet, padet, sesek, penuh!

Tipe pemberi informasi yang baik untuk pemenuhan gizi kepala, tapi ga baik untuk kesehatan jari-jari. Bikin kriting. Cangkeul!

Soal transkrip, beberapa teman saya masang target: narasumber dibatesin ngomongnya cuma 30 menit. Maksimalnya segitu. Biar jempol, telunjuk dkk ga kaku-kaku gegara kebanyakan nari di atas keyboard, hihiii

Apes, cicilan transkrip itu raib pas besoknya saya nyalain komputer. Kelakuan kompi saya emang suka error. Mungkin gara-gara faktor U, bisa juga emang itu kompi banyak gaya. Hobi bertingkah. Kadang nge-hang, kadang lemot.

Berarti besok bikin transkripnya dari awal lagi dong?

Such a stupid question! It's a must!

Baiklah, baiklah...

Terus ya, pas udahan wawancara, si narsum yang notabene seorang pejabat di Kementerian A, membekali saya dengan segepok dokumen.

Ada notulensi rapat, data-data statistik, surat rekomendasi ke Kementerian B dan C yang berkaitan dengan isu yang saya garap.

Belum lagi 'bonus' salinan Peraturan Menteri (permen) B dan C yang nyambung sama topik bahasan. Isi permennya banyak pasal-pasal. Nambah-nambahin derita hati aja >.<;

Ini soal impor komoditi X (maenannya pake kode-kode mulu sik?). Si narsum menyarankan saya bertanya ke bea cukai soal dokumen impor apa yang dipakai untuk mendatangkan barang X ini.

Doi aneh deh! Masa soal dagang-dagangan sama negera lain, disuruh nanya ke cukai?

Bukankah cukai itu sejenis penyedap rasa makanan yang sering ditambahkan ke kuah bakso atau asinan? *lalu disambit pake gerobak bakso*

Sumpah, banyolan di atas garing abis! Nggak lucu ya?

Ya udah. Lupain.

Mungkin saya lelah. Mungkin saya mulai lapar. Nenek bilang, "makan dulu, sana!"

Bukannya ke meja makan, saya malah nyari ayam-ayam. #apaansih #lawakanculunmaksimal

Ini udah sebulan lebih 4 hari saya kerja di sini. Perkembangan terbaru, saya masih betah menjalaninya :D

Ngantuk. Tidur ah. Transkripnya ntar tengah malem. Diniatin melek. Tanda keseriusannya dengan masang alarm.

Ka-lau-ba-ngun-i-tu-ju-ga.

Pas kepala nempel di bantal, kesadaran ilang total. Kuping mendadak budek. Bangun-bangun rusuh :D

Sekian.
Selamat malam!

Kamis, 13 Februari 2014

Being a Journalist

Super late post. Kelamaan jadi draft. Tapi kalau dibuang kan sayang. Ini dibuat akhir November 2013...

***

Hampir Desember!
Berarti saya harus mulai melamar pekerjaan lain karena kontrak kerja saya habis per 1 Desember ini. Saat ini, saya bekerja sebagai “kacung” pemerintah dalam program bantuan untuk para petambak garam. Asli, kerjaan ini nggak nyambung banget sama minat saya maupun latar belakang pendidikan saya.

Kok bisa?
Teteh saya bilang, saya beruntung mendapatkan pekerjaan ini. Yes, how lucky yet stupid I am! Kata Teteh, orang lain berebut untuk mendapatkan posisi saya sekarang tapi saya tidak betah dan ingin masa kontrak cepat berakhir.

Sebenarnya gaji saya lumayan, waktu kerja juga fleksibel. Pokoknya kerjanya enak banget. Cuma hati saya kan nggak di sini.

Eaaaah! Lebay tak terkira :p
Eh tapi beneran lho hati saya nggak di sini…
Bergelut di dunia tulis-menulis merupakan cita-cita dari SMP. Waktu anak-anak lain mau jadi dokter, presiden, polisi atau artis, saya mau jadi penulis. Dulu sih saya belum tahu jadi penulis apa: penulis buku, penulis berita, penulis diary atau penulis di kelurahan a.k.a juru tulis :D

Dari SD saya terbiasa nulis diary karena waktu saya SD belum ada Mamah Dedeh buat dicurhatin, jadi saya cerita di diary, hahaha.
Pas SMP saya bergabung di ekskul majalah dinding (mading). Setahun ikutan mading, saya didapuk jadi pemimpin redaksi di tahun kedua. Pengangkatan saya jadi ketua merupakan “persekutuan jahat” para senior di ekskul itu. Bukan karena saya pilihan terbaik, tapi karena nggak ada pilihan ^_^;

Padahal saya sengaja nggak mencalonkan diri dan absen saat rapat pemilihan pemimpin redaksi yang baru. Ya nggak Pe-De aja jadi leader, nggak ada bakat.

Di bawah kepemimpinan saya, format mading berubah. Malahan namanya juga berubah-meskipun akhirnya setelah saya lengser, nama madingnya kembali ke nama yang lama. Ada beberapa rubrik baru biar papan mading terisi full oleh karya. Awalnya sih semangat 45, lalu mading itu mandek, hehehee.

Sewaktu duduk bangku SMA, saya mengikuti ekskul karate. Sebenarnya di sekolah ada mading, cuma ya dikelolanya oleh anak OSIS. Itupun informasi yang dibagi seputar kegiatan OSIS yang kurang up to date.

Dan masa ketika memakai seragam putih-abu ini lah saya membulatkan tekad untuk menjadi seorang penulis berita. Pencari berita maksudnya. I wanna be journalist! Gara-garanya sepak bola.

Ya, pas SMA saya keracunan virus gila bola dari teman-teman. Meskipun nontonnya Liga Inggris, Liga Champions sama Piala Dunia doang. Itu juga kalau klub-klub besar yang tanding. 

Rasanya iri banget melihat wartawan olahraga Indonesia yang dikirim untuk meliput laga-laga internasional.
Mauuuuuu! Apalagi mereka punya kesempatan buat nonton lebih dekat, dari pinggir lapangan. Belum lagi pas konferensi pers bisa lihat para pemain dan pelatih dari deket banget!

Aaaak, I-RI A-BIS!!!

Sungguh ini alasan yang bodoh…
Ball boy, pemotong rumput stadion dan OB di kamar ganti pemain adalah profesi yang lebih baik dikejar kalau tujuannya melihat pemain-pemain favorit dari jarak dekat, ya kan? Iya kan?

Semenjak itu saya mulai mencari kampus-kampus yang menyediakan jurusan jurnalistik. Saya mengikuti tes masuk di universitas dan akhirnya terdampar di salah satu kampus yang dulunya bernama IAIN di Ciputat. Sebut saja kampusnya UIN Jakarta, bukan nama sebenarnya :D

Menurut info, saya dan anak-anak jurnalistik 2008 adalah generasi ke-5. Artinya, jurnalistik di UIN itu masih bayi dan belum “ajeg”. Selain di UIN, saya diterima di salah satu politeknik negeri di Bandung jurusan sastra Inggris.

Cuma saya mempertimbangkan minat saya condong ke mana. Biaya kuliah yang murah pun jadi alasan kenapa saya milih UIN, soalnya ibu saya single fighter yang ketiga anak perempuannya masih sekolah. Lagian masa ngambil yang di Bandung, masa belajar sastra Inggris di sekolah teknik?

Karena masih seumur jagung, fasilitas yang saya seringkali nggak memuaskan. Misalnya dosen pengajar mata kuliah jurnalistik yang berpengalaman sebagai jurnalis masih sedikit. Bisa dihitung jari.

Kadang agak kecewa aja kalau tahu dosen pengajar mata kuliah jurnalistik, komunikasi massa dll, nggak pernah berprofesi sebagai wartawan.

Soal latar belakang pendidikan sih nggak masalah. Banyak wartawan-wartawan hebat Indonesia yang background pendidikannya bukan jurnalistik. Tapi kalau pengalaman kerja di media massa, menurut saya harus dimiliki setiap dosen pengajar jurnalistik.

Bagaimana mana bisa seorang mengajarkan cara menjadi seorang jurnalis yang baik sementara dia tidak punya pengalaman apapun di dunia kerja pers? Ibarat belajar soal wirausaha, tapi pengajarnya bukan enterpreneur. Kurang afdol.

Selama menjadi mahasiswa saya aktif sebagai reporter. Bukan di Lembaga Pers Mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan kampus, justru saya menjadi reporter yang menyuplai berita bagi website resmi universitas. Tugasnya meliput kegiatan kampus maupun mahasiswa untuk mempromosikan universitas saya. Ya semacam media-media pada masa Orde Baru lah: menjadi mitra dan corong pemerintah :p

Saya paling suka meliput kegiatan-kegiatan UKM daripada kegiatan pejabat kampus. Terutama UKM pecinta alam dan pecinta lingkungan. Oiya, enaknya punya ID card pers itu saya bisa leluasa masuk ke acara-acara yang berbayar secara GRATIS, hahaha.

Eh, tapi sialnya juga ada. Pernah saya ditugaskan meliput seminar matematika nasional yang diikuti para guru matematika seluruh Indonesia.

Kampret!
Saya terjebak seharian membahas angka-angka, rumus dan metode mengajar. Seharian!
Pemimpin redaksi sama redaktur pelaksana nggak terenyuh hatinya ketika saya menolak tugas liputan ini, walaupun saya berdalih selama SMA saya menyontek mata pelajaran itu dari teman. Tiga tahun full! Jawaban-jawaban di buku tugas matematika saya sepenuhnya karya teman, kecuali soal karena itu buatan guru matematika atau penulis buku paket :p

Malsuin Surat Magang
Fakultas berhenti menerbitkan surat pengantar magang buat mahasiswa tepat ketika saya di semester 4. Liburan semester yang cukup panjang, tadinya saya niatkan untuk magang di media besar tidak terealisasi gara-gara itu. Sempet protes protes ke sekretaris jurusan. Bagusnya kan mahasiswa jurnalistik itu harus praktek di lapangan, bukan cuma mendengarkan teori di kelas. Tapi itu sudah kebijakan fakultas, katanya.
Saking pengennya magang, saya membuat surat pengantar palsu. Sayangnya ketahuan pas minta cap ke TU. Pegawai TU itu memarahi saya, padahal surat itu saya simpan di tengah, di antara berlembar-lembar surat aktif kuliah biar tidak terdeketksi, hehehe (don’t try this at home).

Bagusnya, saya lihat dari tahun ke tahun jurusan saya yang masih bayi ini berkembang lebih baik dengan bertambahnya umur, biaya SPP dan mahasiswa :-D
Balik lagi soal magang. Akhirnya keinginan untuk praktek kerja di media itu terpenuhi sewaktu mengerjakan skripsi. Berbekal surat penelitian, saya mewawancarai Pak Johan, produser program in-depth di statiun TV swasta. Sebenarnya bahasan skripsi saya tidak perlu magang, cukup wawancara saja.

Hari itu saya berangkat diantar teman untuk wawancara sambil membawa CV dan foto dengan niat minta dibolehin magang. Kalau ditolak mau maksa :D
Sesi tanya jawab dimulai. Di akhir wawancara, saya ragu-ragu mengutarakan niat magang. Saya hampir berpamitan setelah mengakhiri tanya jawab, sampai Pak Johan melontarkan pertanyaan, “kamu nggak mau magang?”
Saya sontak menjawab mau. Nggak lupa saya ceritakan sebenarnya saya sudah membawa CV dan foto untuk melamar. Akhirnya dia meminta berkas-berkas saya untuk dia serahkan langsung ke HRD. Dua hari kemudian saya dipanggil untuk mulai magang. Cihuy!
Sebenarnya, kisah akhir skripsi saya bukan membahas berita di program itu. Saya harus ganti objek penelitian karena alesan tertentu. Penelitiannya gagal. Skripsi saya buat dari awal: dari bab niat dan diikuti bab turunannya.
Kata teman, saya rugi banget. Udah magang sebulan tapi penelitiannya gagal. Tapi saya merasa nggak demikian. Justru ngerasa beruntung menjadi anak magang di program investigasi. Saya ikut serta melihat para reporter meriset, menelusuri fakta dan teknik membuat narasumber agar mau berbicara.

Saya bertemu macam-macam narasumber dari yang banci kamera sampai yang benci kamera. Saya juga sempat melihat istri pejabat desa terdakwa korupsi nangis-nangis, agar gambar suaminya tidak ditayangkan dan kasusnya tidak diangkat ke masyarakat luas.
Sebulan magang itu juga saya bisa keluar masuk gedung DPR, kementerian dan bertemu orang-orang yang sebelumnya hanya saya lihat di tv. Kalau untuk yang terakhir nggak bangga sih, cuma jadi tahu aja bagaimana orang itu bertindak dan berbicara ketika kamera belum menyala.

Pengalaman seperti itu mahal harganya buat saya, karena tidak saya dapatkan di bangku kuliah. Untuk semua pengalaman itu, saya harus mengucapkan terima kasih sama Pak Johan :D

Si Item

Asli, saya ngakak begitu liat gambar ini di Facebook. Langsung klik kanan, save! Harus dibikin catetannya nih di blog :D

Kenapa gambar ini lucu?
Gambarnya menjelaskan beda tas cewek dan cowok. Kesannya kaum hawa itu ribet banget soal tas. Tiap acara pake tas yang beda-beda.

Kalau ngeliat jenis kelamin sih, saya tergolong kelompok yang kiri. Tapi kalau liat jenis tas yang dipakai...
Mutlak, saya termasuk yang kanan (^_^);

Yup! I always use the same bag for any ocassion! Lol...
Kuliah, ke mall, ngantor, maen, nongkrong, ke pantai, piknik ke luar kota, sampai naik gunung, ya tasnya yang itu-itu juga.

Namanya si item. Baru dikasih nama pas catetan ini dibikin. Biar kesannya akrab dan punya panggilan sayang :D

Warnanya item. Full black. Cuman ada garis pink vertikal di bagian samping tas, selebar 1 cm. Tasnya simpel, kaya yang manggulnya.

Am I that simple? Oke, oke, kadang suka rusuh sendiri sih. Puas?

Ini Lho tersangkanya! Penampakan Si Item
Si item udah menemani saya selama hampir lima tahun. Dari 2009 kayanya, atau 2008 akhir gitu deh. Setia banget doi. Mau aja digembol ke mana-mana. Pernah dibawa nginep di hotel bintang lima, sampai nginep di hotel yang bintangnya nggak terhingga alias di alam terbuka :D

Kita pernah muncak di tiga gunung: Gunung Gede, Guntur dan Papandayan. Padahal doi cuma daypack, buka tas gunung. Demi loyalitas, dia mau aja ikut nanjak. Nggak nolak. Nggak minder sama tas-tas lainnya yang segede kulkas waktu dijejerin sama tas pendaki lain.

Si Item juga yang nemenin saya backpacking pertama kali. Waktu itu ke Jogja. Naik kereta ekonomi seharga Rp 35.000 dari Senen ke Lempuyangan. Keretanya sungguh tak beradab. Di bawah kursi saya ada yang tidur memanjang, jadi risih. Pria-pria yang duduk di hadapan saya juga bikin takut. Saya peluk kenceng-kenceng si Item.

Sering banget punya pengalaman pertama sama si Item.Pertama kali ngerasain interview kerja. Hari pertama masuk kerja yang segalanya masih terasa canggung. Pertama kali coba piknik ala backpacker dan pertama kali naik gunung, kaya yang udah disebutin sebelumnya. Sama si Item, saya thawaf mengelilingi Kabah. Di dalam perut si Item, saya simpan air zam-zam untuk diminum ketika haus. Pesanan saudara juga sih, buat obat. Di Islam, air zam-zam itu banyak khasiatnya. Nah apalagi kalau dibawa thawaf sambil mulut kita berdoa.

Pokoknya selama hampir lima tahun ini, Si Item tau apa aja yang saya lakuin. Dengan loyalitas tinggi, dia selalu ikut ke mana aja saya pergi. Makasih ya, Tem. It means a lot to me, muaaach!

Sekarang, itemnya si Item nggak segarang dulu. Pudar dimakan usia. Selain soal warna, doi masih prima banget! Resleting belum jebol atau macet. Kainnya nggak ada yang sobek. Ciamik bangetlah bodinya, kaya body yang p


Rabu, 22 Januari 2014

Hari Keempat Jadi Carep

Saya bersyukur banget kerja di majalah ini. Kita, para calon reporter (Carep) dikasih pelatihan dulu sebelum terjun meliput. Kaya masa orientasi gitu deh.

Nggak semua perusahaan media melakukan ini. Yang saya tahu majalah sana (ya, ya, yang saya susah move on dari ambisi jadi jurnalis di sana itu lho), juga membekali carep-carepnya di kelas belajar.

Setelah pembekalan selesai, carep bakalan ditandemkan dengan reporter untuk awal-awal penugasan. Tujuannya bagus, supaya bisa belajar dari yang senior tentang hal-hal praktis di lapangan. Enak kan, nggak langsung dilepas sendirian :D

Saya dan 10 carep lain adalah angkatan 2014. Di kelas belajar, kadang-kadang anak marketing juga masuk kelas untuk bahasan tertentu. Beberapa materi pembekalan memang bersifat umum tentang perusahaan.

Di media kita (cieeh kita, haha), ada sekat yang disebut garis api antara pemasaran dan pemberitaan. Jurnalis di sini dilarang nyambi cari iklan, bahkan cuma membantu penulisan advertorial juga nggak boleh. Marketing punya penulis iklan sendiri. Fotografer berita dan iklannya pun berbeda. Reporter cari narasumber untuk pemberitaan. Marketing cari klien buat masang iklan. Jelas batasannya.

Lagi-lagi bersyukur kerja di media yang udah 'ajeg' dari segi sistem maupun finansialnya. Beberapa wartawan (biasanya media lokal, beberapa doang mungkin) punya tugas ganda: wartawan merangkap sales iklan.

Lucunya, garis api itu tidak hanya berlaku dalam hal tugas, tapi juga penampilan, hihi.

Beneran deh, carep sama marketing itu 'cangkang luarnya' lumayan timpang!

Nggak usah bilang posisi kita pas perkenalan pun orang tahu mana carep, mana pemasaran. Yang marketing tentu lebih modis dan terawat :D

Yang carep? Nggak jauh dari kemeja (kadang kaos!), jeans dan kets.

Tapi dalam pergaulan sih nggak bersekat. Anak-anak marketing itu menyenangkan kok, nggak sok-sokan ekslusif. Bukan cuma mereka sih, semua orang di berbagai bidang dan posisi juga baik dan ramah. Beneran nih, bukan jilat-jilat atasan.

Buktinya, kemarin saya ikutan rapat kompartemen ekonomi. Sebenernya terpaksa 'diikutkan' biar tahu suasana penentuan berita-berita yang bakal digarap. Saya nggak sendiri. Bang Averos sama Vino G Bastian abal-abal juga kebagian ikut di sini. Carep yang lain dibagi-bagi ke kompartemen nasional dan hukum.

Suasana rapat itu egaliter banget! Semua orang bebas berpendapat tentang hal-hal yang menarik diangkat. Reporter boleh mengkritisi bahkan menolak usulan topik dari redaktur. Asalkan masuk akal dan sopan, itu fair. Bahkan para carep juga dimintai saran dan usulan oleh redaktur pelaksana. Padahal awalnya kita, eh saya doang, merasa udah kaya obat nyamuk. Cuma duduk manis dan mendengarkan. Jadi merasa tersanjung gitu pada 'ngeh' ada kita dan diajak terlibat diskusi :D

Selama rapat di kompartemen ekonomi, saya nggak mudeng banget isu-isu yang dibahas :p
Bukan tentang harga bawang naik jadi berapa. Bukan. Itu sih bisa baca di media online.

Koran dan online mengutamakan kesegaran atau aktualitas, sedangkan majalah memberikan kemendalaman. Emang beda jualannya dari online, koran, majalah, televisi dan radio. Masing-masing punya produk khas.

Emm, waktu ditanya usulan berita, saya jawab belum punya. Karena nggak mudeng tadi, hahaa. Saya udah baca-cara isu terhangat sih buat rapat kompartemen. Saya bikin catatan-catatan buat persiapan. Sayangnya, itu masuk ke nasional dan hukum.

Pait! Pait! Pait! Semoga nggak ditempatkan di Ekonomi. Amin... Eh khusus yang ini off the record aja ya jangan bilang-bilang ke orang. Sttt, diem-diem aja daripara dipecat, hahaha

Berita-berita apa yang akan dimunculkan untuk edisi minggu depan merupakan hasil rapat itu, bukan keputusan satu orang yang paling tinggi jabatannya.

Ah, tuh kan! Lagi-lagi bersyukur punya lingkungan kerja yang asyik banget :D

Oh ya, tulisan ini merupakan curhat saya di hari keempat masuk kelas belajar. Kesannya hepi-hepi gitu ya jalannya. Ya emang, orang masih kelas belajar. Nggak tahu deh kalau udah dikasih penugasan untuk meliput.

Denger-denger sih suasana sering tegang menjelang deadline terbit majalah. Terus redaktur kadang mendadak galak kalau materi liputan kurang atau gagal nembus narasumber.

Oh ya, saya udah bikin sidik jari buat masuk ruangan-ruangan di sana lho. Ada nomor induk karyawannya juga. Berarti udah sah kan ni jadi jurnalis di sana? Hahahaa, girang banget! Sama noraknya kaya pas lihat sebuah meja kerja kosong bertuliskan nama: Putri Kartika Utami.

Asli seneng banget. Ciyusan mi apa aja deh :D

Senin, 20 Januari 2014

Pilihan Hidup

Cihuy! Akhirnya obsesi jadi jurnalis kesampean \^o^/
Rasanya seneng banget bangeeeet! Jadi pekerja media itu teenage dream yang terwujud.

Cita-cita kok cuma jadi jurnalis?
Iya sih cuma jadi kuli tinta doang... tapi bodo amat! Selera orang kan beda-beda. Termasuk soal profesi. Menjadi pekerja pers bagi saya adalah pilihan hidup #eaaa

Saya memilih kuliah di jurnalistik juga karena tujuannya mau jadi wartawan. Bukan asal kuliah. Bukan karena paksaan orang tua. Bukan karena ikut-ikutan orang. Bukan karena peluang kerjanya semakin luas di era informasi ini. Kata hati yang menuntun. Ih sumpah kata-katanya jijay banget, haghagcuih :p

Alhamdulillah saya dilahirkan di keluarga yang demokratis. Ibu saya memberikan kebebasan kepada anak-anak perempuannya memilih jurusan yang kami minati untuk kuliah. Pada saat itu, jurusan saya dan dua saudara perempuan saya memang nggak lazim di lingkungan rumah.

Kakak saya, Teh Ian, mengambil jurusan peternakan. Saya kuliah di jurnalistik. Sedangkan Icha, si bungsu memilih pendidikan teknik mesin. FYI, di kelasnya Si Icha, perempuannya cuma dia doang. Bagaikan perawan di sarang penyamun kali ya? hehe

Sebenernya ibu saya berharap salah satu anak perempuannya ada yang bergelut di bidang medis. Jadi dokter, perawat atau bidan gitu, seperti pilihan kebanyakan anak perempuan di lingkungan rumah, haha. Tapi kami semua takut darah, jarum suntik dan pisau bedah. (>.<)

Beberapa orang bertanya kenapa saya kuliah di jurnalistik, "emang peluang kerjanya bagus ya?"

I just wanna be a journalist. It's about passion. Sok iye bangetlah? haha, tapi emang iya begitu sih kenyataannya :p

Waktu saya kelas 3 SMA, beberapa temen yang memilih jurusan di universitas berdasarkan peluang kerja. Angkatan saya banyak yang mengambil IT, ekonomi, sastra Inggris, dan pendidikan. Yang perempuan banyak banget yang memilih jadi bidan. Landasannya ya ketersediaan lowongan pekerjaan itu: banyak dibutuhkan.

Kata salah satu temen kelas saya yang berniat kuliah di kebidanan sih biar bisa buka praktek di rumah. Bukan karena memang minatnya di sana. Tapi satu doang lho yang bilang gitu, hehee. Pasti banyak yang pengen jadi bidan karena panggilan jiwa, bukan pertimbangan materi, ya kan? *daripada ditimpukin bidan*

Saya memang punya kecenderungan bersikap datar menanggapi sesuatu. Cuma bergairah untuk hal-hal yang saya minati. Waktu SMA, saya pilih kasih sama pelajaran. Pas mau naik kelas XI, nilai saya nggak memenuhi kriteria kelas IPA. Nilai fisika, matematika, dan kimia mengerikaaaaan. Bikin sedih deh pokoknya.

Saya pun masuk IPS. Saat itu, derajat IPS seolah-olah lebih rendah dari IPA. Kalah gengsi. Biasalah, darah muda darahnya para remaja. Saya pun sempet terpengaruh soal strata kelas. Karena stigma itu, saya hampir mau memaksakan masuk IPA--yang waktu itu saya anggap lebih keren, bermartabat dan bermasa depan cerah. Seolah-olah bakalan cemerlang gitu kehidupan di kemudian hari. 2014 ini apakah anggapan itu masih berlaku saat ini? I don't know. Waktu tahun 2005-2008 sih masih berlaku, at least at my school :D

Udah niat mau pindah. Mau ngobrol sama guru BP. Tapi ketemu sama trio kwek-kwek yang bikin nestapa selama 3 tahun? Si fisika, kimia sama matematika yang bikin mencret-mencret itu?

Bakalan keseret-seret. Bakalan jadi tukang nyontek. Bakalan menggantungkan nilai-nilai rapot saya pada kemurahan teman yang rela kasih contekan.

Waktu itu, ibu agak mendorong saya melobi guru biar bisa pindah kelas. Beberapa teman yang tadinya di IPS berhasil loncat ke IPA. Teteh saya malah bilang keluarga kita keluarga IPA. Masuk jurusan sosial itu ibarat merusak garis keturunan, hehee. Woooo lebay :p

Tapi kan saya yang belajar. Saya yang bakal mengabiskan seharian duduk di kelas mengikuti pelajaran. Saya yang bakal menderita bikin PR yang angka-angkanya lebih banyak dari huruf. Saya yang akan menjalani itu semua. Betapa mengerikan!

Saya meyakinkan diri kalau di masa depan mau jadi pekerja media. Masuk jurnalistik itu nggak harus dari IPA. Kepala saya lebih waras dari darah muda darahnya para remaja. Saya pun pasrah terdampar di XI IPS 3. Tapi sial banget di kelas IPS masih ketemu matematika. Satu lagi yang ngeselin: akuntansi!
Otak saya emang nggak support buat angka-angka, kecuali ngitung duit beneran. Bukan duit imajiner kaya di akuntansi :p

Saya berkomitmen bakalan tanggung jawab dengan pilihan saya. Implementasinya, saya enggak bakal mencontek, juga akan membuat pekerjaan rumah DI RUMAH, untuk bidang studi sosial. Matematika sama akuntansi mah pengecualian, hahaha. Dua pelajaran itu nggak seharusnya di IPS :p *tendangin kalkulator*

Awalnya jadi golongan murid IPS agak berat. Pas upacara agak gimana gitu ada di barisan dengan makhluk-makhluk itu. Agak minder, hahaa. Alhamdulillah perasaan yang tidak pada tempatnya itu nggak berlangsung lama. Nggak sampai sebulan. I'm on the right track!

Sewaktu kuliah, kecenderungan pilih kasih itu masih berlaku. Kalau mata kuliah yang kurang saya suka (metlit, statistik, ilmu alamiah dasar adalah beberapa contohnya), saya ikuti dengan standar asal lulus. Biarin pas-pasan juga.

Tapi kalau mata kuliah jurnalistik saya belajarnya lebih serius. Liat-liat juga sih dosennya siapa, hehehe. Buat mata kuliah yang menarik hati dan dosennya membuat saya merasa mendapat sesuatu yang nggak ada di buku, saya belajar serius. Bikin makalahnya dengan segenap hati. Terus kalau dapet nilai jelek itu nyeseknya nggak ilang. Bisa sampai 3x puasa 3x lebaran. Dapet B aja sakit hati dan kesel sama diri sendiri. Bukan soal nilai sih. Lebih pada kepuasan. Tapi nilai dari dosen juga salah satu indikator apakah pekerjaan kta bagus atau nggak. Selain itu, apalagi?
Tidak ada orang yang jenius di semua bidang. Ketika kamu tidak bisa melalukan sesuatu, selalu ada orang lain yang bisa melakukannya untukmu.
Sepertinya petuah itu saya aplikasikan dengan cara yang salah, ya itu tadi pilih kasih sama sesuatu yang disuka doang. Dan nggak berusaha bisa mengerjakan sesuatu yang nggak diminati dengan sungguh-sungguh. Seadanya. Sekedarnya. Kalau nggak bisa atau nggak suka, biarin aja orang lain yang garap. Fokus sama yang kita suka dan mau. Eh, salah kaprah ini, jangan diikutin :D

Oia, lulus kuliah saya bekerja di bidang yang jauuuuuh banget sama dunia pers. Nggak nyambung. Saya ambil kesempatan itu semata-mata karena materi. Lulus kuliah saya malu kalau masih nyusu sama orang tua soal isi kantong. Pekerjaan ini, gajinya oke, jadwal kerja fleksibel, nggak pake banyak target.

How lucky I am! Baru lulus sidang, belum wisuda udah dapet kerja. Kata orang-orang sih gitu. Alhamdulillah :)

Tapi nepotisme nggak sih saya dapet kerjaan itu karena rekomendasi orang dalam? Perasaan itu ganggu banget (>.<)

Ditambah, saya baca status Facebook Medina Kamil, presenter Jejak Petualang yang ketje. Doi merasa beruntung banget pekerjaannya adalah passionnya. Dia dibayar untuk mengerjakan sesuatu yang disukai. Ah sumpah, ngiri!

Saya kan mau jadi jurnalis. Setelah habis kontrak di pekerjaan lama, saya berniat kembali ke pilihan hidup semula: cita-cita waktu masih ABG.

Dan inilah saya sekarang: seorang calon reporter (carep) di sebuah majalah nasional. Cuma carep, belum reporter. Tapi saya bahagia karena telah kembali ke jalan yang benar, hehee. Bukan cuma Medina Kamil yang beruntung, saya juga! :D

Tanggal 20 Januari 2014 jadi hari pertama masuk kerja. Selama seminggu, saya dan 12 orang carep lain ikut kelas belajar di media tempat kami bekerja.

Hari pertama merupakan masa orientasi atau perkenalan. Kami diajak berkeliling ke semua ruangan, dikenalkan kepada semua karyawan di sana. Setelah itu ada penjelasan soal visi, misi serta hal-hal yang berhubungan dengan SDM.

Girang banget waktu liat meja kerja yang akan saya tempati, dengan komputer sendiri. Saya udah membayangkan bakal masang foto siapa aja di ruang kecil bersekat itu. Saya hias pake pernak-pernik lucu. Harus banyak cemilan juga biar cepet gendut. Tahun ini harus naek minimal 5 kg. Wajib! Resolusi rutin yang nggak pernah tercapai dari tahun 2005 adalah naik berat badan. Saya cengar-cengir sendiri liat meja kosong itu. Singgasana gue! Hahahaa :p

Kelas belajar ini akan berlangsung sampai Rabu depan. Besok materinya tentang keredaksian, kode etik dan manajemen peliputan. Pasti bakalan seseru tadi. O my God! O my God! O my God I'm so excited!

Kita lihat ya kebahagiaan ini bertahan berapa lama. Seminggu? Sebulan? Hihihii, soalnya sepuluh hari setelah hari ini, kelas belajar berakhir. Para carep bakalan diterjunkan untuk meliput, mengejar narasumber dan harus tembus, bermesraan dengan deadline daaaan segala kariweuhan lainnya. Pas nanti mengalami itu, saya masih betah atau muntah darah?

Ah, pokoknya besok bakalan seru!!!

Soal pilihan hidup, saya harus mengakui saya bangga sama Icha, si adik kandung. Dia mengikuti kata hatinya daripada kebutuhan isi dompetnya. Ketika teman-temannya yang juga lulusan pendidikan lebih memilih kerja di swasta, biasanya sebagai pegawai bank, Icha memilih mengajar. Doi bukannya nggak punya kesempatan itu. Dari lamaran iseng-iseng yang dia kirim lewat jobstreet, dia lolos tes masuk bank swasta terbesar di Indonesia.

Gaji guru honorer berapa sih? Kalau dibandingin sama pegawai bank mah kemungkinan cuma setengahnya. Icha sempat bimbang soalnya bank tersebut di Indonesia masuk the best lah. Selain itu, teman-temannya yang pernah mengajar di sekolah maupun tempat bimbel, malah banyak yang banting stir jadi pegawai bank.

Tapi orang tua kita selalu mengajarkan uang tidak harus selalu di urutan pertama. Munafik kalau bilang kita nggak suka punya duit banyak. Cuman ya, uang bukan prioritas dibalik setiap pilihan hidup kita. Beruntung banget punya Bapak dan Ibu seperti mereka.

Si Icha sempet bimbang, soalnya bank yang menerimanya tergolong yang terbesar dan terbaik di Indonesia. Saya sempet memengaruhinya untuk melewatkan kesempatan itu, "jadi guru aja, Cha."

Menjadi pegawai bank tentu bukan pekerjaan tidak terhormat. Malah bagus. Cuma saya sangat mengenal adik saya dan potensi-potensinya selama kuliah. Sayang banget kalau ilmu yang dia serap selama bertahun-tahun kuliah, berakhir di balik meja. Menghitung uang atau melayani nasabah yang ingin buka rekening. Tapi ya, saya terlahir di keluarga yang nggak terbiasa dengan intervensi orang yang lebih tua. Dia yang menjalani adalah yang berhak milih mau jadi apa. Dan Icha memilih jalannya. Menjadi pendidik.
Wow! Kakaks bangga padamu, Diks :p

Soal pilihan hidup ini, saya juga juga harus bilang saya bangga sam pilihan sahabat saya, Dini. Dia meninggalkan pekerjaan yang baru dia geluti selama beberapa bulan, demi mengejar Eropa. Padahal, waktu dia mutusin resign, dia belum punya pekerjaan cadangan. Nekat memang, tapi itu pilihannya.

Sekarang, si sarjana sastra Inggris ini bekerja di sebuah travel agent cukup besar. Gajinya pun lebih besar dari pekerjaan lamanya. Tapi lagi-lagi ini soal bukan materi. Uang yang banyak, ya anggap aja bonus. Dia mencari jalannya menuju Benua Biru. Sebagai karyawan, dia bilang dia punya punya kesempatan untuk liburan dengan tiket gratis dari kantor.

"Boleh ke Eropa lho, Ut!" Saya ikutan bersorak girang waktu dia sampaikan itu. U're on the right track, keep on going sist!

Karena saya nyebut Dini, daripada digebukin karena sirik-sirikan, mungkin saya juga harus memuji pilihan berani yang Inay ambil. Waktu itu Inay cuma karyawan pabrik yang beruntung, dia ditarik ke bagian office karena supervisornya tau Inay sedang kuliah juga sambil bekerja. Lucky her!

Saat posisi Inay sudah lebih baik di tempat kerja, seorang lelaki dari masa lalu tiba-tiba datang. Tanpa basa-basi, dia mengajak Inay menikah. Keseriusan sang lelaki ditunjukkan dengan mendatangi orang tua, nggak lama dari ajakannya sama Inay. Waaah! He's so ready :D

Inay setuju. Dia juga bersedia keluar dari pekerjaannya agar fokus mengurus keluarga. Waktu mengajukan pengunduran diri, Si Bos menawari kenaikkan gaji. Inay juga diiming-imingi diangkat jadi karyawan tetap dalam waktu yang lebih cepat dari prosedur pengangkatan normal. Lagi-lagi, ini bukan soal duit. Inay memilih fokus pada kuliah dan calon keluarga kecilnya. Dia resign. Salut! Nay, semoga dilancarkan pilihan hidupnya. So proud of your big choice! *peyuk, ketjup batsah*

Khususon buat Meonk (harus disebut juga biar nggak terjadi keretakan hubungan :p ), doi kini sedang berusaha 'kembali ke jalan yang benar'. Kalau bicara soal tempat kerja, beuh! yang ngiler pengen di posisi si Meonk pasti banyak. Kerja di kantor pemerintahan yang wilayahnya 'basah' gitu lho. Tapi saya percaya Meonk akan putar arah. Dia lagi nyari jalan keluar sekarang. Semoga nyasarnya nggak kelamaan ya, Menk. Gud luck!

Catatan ini panjang banget yak. Mood nulis lagi asik banget. Eh nggak juga sih, gara-garanya di kost-an baru no tv no lepi. Belum dibawa karena waktu dateng cuma bawa badan sama baju buat seminggu. Untungnya punya hp pintar jadi nggak mati gaya banget :D