Kalau sudah begini, saya harus bagaimana?
Minggu, 30 November 2014
Marah
Kalau sudah begini, saya harus bagaimana?
Selasa, 04 Maret 2014
Transkrip
Awalnya, saya ngetik ini buat ditulis di pesbuk. Tapi panjang banget. Udah 100% selesai, saya cut ke blog *klarifikasi ga penting*
---
Pengen nge-blog, nulis apa aja yang dialamin sehari-hari. Pengen tinggal pengen.
Pas inget harus nulis berita yang ditugasin, niat 'meramaikan' blog -yang entah ada yang baca entah ga ada selain penulis- cuma sekedar niat.
Apa tadi? Nulis berita?
Bikin transkrip wawancara yang kemarin aja belom.
Durasinya 58 menit. Kemarin sempet nyicil sampe menit ke 21. Itu aja udah 6 lembar, soalnya si narasumber termasuk orang yang bicaranya cepet, padet, sesek, penuh!
Tipe pemberi informasi yang baik untuk pemenuhan gizi kepala, tapi ga baik untuk kesehatan jari-jari. Bikin kriting. Cangkeul!
Soal transkrip, beberapa teman saya masang target: narasumber dibatesin ngomongnya cuma 30 menit. Maksimalnya segitu. Biar jempol, telunjuk dkk ga kaku-kaku gegara kebanyakan nari di atas keyboard, hihiii
Apes, cicilan transkrip itu raib pas besoknya saya nyalain komputer. Kelakuan kompi saya emang suka error. Mungkin gara-gara faktor U, bisa juga emang itu kompi banyak gaya. Hobi bertingkah. Kadang nge-hang, kadang lemot.
Berarti besok bikin transkripnya dari awal lagi dong?
Such a stupid question! It's a must!
Baiklah, baiklah...
Terus ya, pas udahan wawancara, si narsum yang notabene seorang pejabat di Kementerian A, membekali saya dengan segepok dokumen.
Ada notulensi rapat, data-data statistik, surat rekomendasi ke Kementerian B dan C yang berkaitan dengan isu yang saya garap.
Belum lagi 'bonus' salinan Peraturan Menteri (permen) B dan C yang nyambung sama topik bahasan. Isi permennya banyak pasal-pasal. Nambah-nambahin derita hati aja >.<;
Ini soal impor komoditi X (maenannya pake kode-kode mulu sik?). Si narsum menyarankan saya bertanya ke bea cukai soal dokumen impor apa yang dipakai untuk mendatangkan barang X ini.
Doi aneh deh! Masa soal dagang-dagangan sama negera lain, disuruh nanya ke cukai?
Bukankah cukai itu sejenis penyedap rasa makanan yang sering ditambahkan ke kuah bakso atau asinan? *lalu disambit pake gerobak bakso*
Sumpah, banyolan di atas garing abis! Nggak lucu ya?
Ya udah. Lupain.
Mungkin saya lelah. Mungkin saya mulai lapar. Nenek bilang, "makan dulu, sana!"
Bukannya ke meja makan, saya malah nyari ayam-ayam. #apaansih #lawakanculunmaksimal
Ini udah sebulan lebih 4 hari saya kerja di sini. Perkembangan terbaru, saya masih betah menjalaninya :D
Ngantuk. Tidur ah. Transkripnya ntar tengah malem. Diniatin melek. Tanda keseriusannya dengan masang alarm.
Ka-lau-ba-ngun-i-tu-ju-ga.
Pas kepala nempel di bantal, kesadaran ilang total. Kuping mendadak budek. Bangun-bangun rusuh :D
Sekian.
Selamat malam!
Kamis, 13 Februari 2014
Being a Journalist
***
Hampir Desember!
Kok bisa?
Eaaaah! Lebay tak terkira :p
Eh tapi beneran lho hati saya nggak di sini…
Padahal saya sengaja nggak mencalonkan diri dan absen saat rapat pemilihan pemimpin redaksi yang baru. Ya nggak Pe-De aja jadi leader, nggak ada bakat.
Dan masa ketika memakai seragam putih-abu ini lah saya membulatkan tekad untuk menjadi seorang penulis berita. Pencari berita maksudnya. I wanna be journalist! Gara-garanya sepak bola.
Aaaak, I-RI A-BIS!!!
Sungguh ini alasan yang bodoh…
Cuma saya mempertimbangkan minat saya condong ke mana. Biaya kuliah yang murah pun jadi alasan kenapa saya milih UIN, soalnya ibu saya single fighter yang ketiga anak perempuannya masih sekolah. Lagian masa ngambil yang di Bandung, masa belajar sastra Inggris di sekolah teknik?
Karena masih seumur jagung, fasilitas yang saya seringkali nggak memuaskan. Misalnya dosen pengajar mata kuliah jurnalistik yang berpengalaman sebagai jurnalis masih sedikit. Bisa dihitung jari.
Kadang agak kecewa aja kalau tahu dosen pengajar mata kuliah jurnalistik, komunikasi massa dll, nggak pernah berprofesi sebagai wartawan.
Bagaimana mana bisa seorang mengajarkan cara menjadi seorang jurnalis yang baik sementara dia tidak punya pengalaman apapun di dunia kerja pers? Ibarat belajar soal wirausaha, tapi pengajarnya bukan enterpreneur. Kurang afdol.
Malsuin Surat Magang
Bagusnya, saya lihat dari tahun ke tahun jurusan saya yang masih bayi ini berkembang lebih baik dengan bertambahnya umur, biaya SPP dan mahasiswa :-D
Hari itu saya berangkat diantar teman untuk wawancara sambil membawa CV dan foto dengan niat minta dibolehin magang. Kalau ditolak mau maksa :D
Saya bertemu macam-macam narasumber dari yang banci kamera sampai yang benci kamera. Saya juga sempat melihat istri pejabat desa terdakwa korupsi nangis-nangis, agar gambar suaminya tidak ditayangkan dan kasusnya tidak diangkat ke masyarakat luas.
Pengalaman seperti itu mahal harganya buat saya, karena tidak saya dapatkan di bangku kuliah. Untuk semua pengalaman itu, saya harus mengucapkan terima kasih sama Pak Johan :D
Si Item
Kenapa gambar ini lucu?
Gambarnya menjelaskan beda tas cewek dan cowok. Kesannya kaum hawa itu ribet banget soal tas. Tiap acara pake tas yang beda-beda.
Kalau ngeliat jenis kelamin sih, saya tergolong kelompok yang kiri. Tapi kalau liat jenis tas yang dipakai...
Mutlak, saya termasuk yang kanan (^_^);
Yup! I always use the same bag for any ocassion! Lol...
Kuliah, ke mall, ngantor, maen, nongkrong, ke pantai, piknik ke luar kota, sampai naik gunung, ya tasnya yang itu-itu juga.
Namanya si item. Baru dikasih nama pas catetan ini dibikin. Biar kesannya akrab dan punya panggilan sayang :D
Warnanya item. Full black. Cuman ada garis pink vertikal di bagian samping tas, selebar 1 cm. Tasnya simpel, kaya yang manggulnya.
Am I that simple? Oke, oke, kadang suka rusuh sendiri sih. Puas?
![]() |
Ini Lho tersangkanya! Penampakan Si Item |
Kita pernah muncak di tiga gunung: Gunung Gede, Guntur dan Papandayan. Padahal doi cuma daypack, buka tas gunung. Demi loyalitas, dia mau aja ikut nanjak. Nggak nolak. Nggak minder sama tas-tas lainnya yang segede kulkas waktu dijejerin sama tas pendaki lain.
Si Item juga yang nemenin saya backpacking pertama kali. Waktu itu ke Jogja. Naik kereta ekonomi seharga Rp 35.000 dari Senen ke Lempuyangan. Keretanya sungguh tak beradab. Di bawah kursi saya ada yang tidur memanjang, jadi risih. Pria-pria yang duduk di hadapan saya juga bikin takut. Saya peluk kenceng-kenceng si Item.
Sering banget punya pengalaman pertama sama si Item.Pertama kali ngerasain interview kerja. Hari pertama masuk kerja yang segalanya masih terasa canggung. Pertama kali coba piknik ala backpacker dan pertama kali naik gunung, kaya yang udah disebutin sebelumnya. Sama si Item, saya thawaf mengelilingi Kabah. Di dalam perut si Item, saya simpan air zam-zam untuk diminum ketika haus. Pesanan saudara juga sih, buat obat. Di Islam, air zam-zam itu banyak khasiatnya. Nah apalagi kalau dibawa thawaf sambil mulut kita berdoa.
Pokoknya selama hampir lima tahun ini, Si Item tau apa aja yang saya lakuin. Dengan loyalitas tinggi, dia selalu ikut ke mana aja saya pergi. Makasih ya, Tem. It means a lot to me, muaaach!
Sekarang, itemnya si Item nggak segarang dulu. Pudar dimakan usia. Selain soal warna, doi masih prima banget! Resleting belum jebol atau macet. Kainnya nggak ada yang sobek. Ciamik bangetlah bodinya, kaya body yang p
Rabu, 22 Januari 2014
Hari Keempat Jadi Carep
Saya bersyukur banget kerja di majalah ini. Kita, para calon reporter (Carep) dikasih pelatihan dulu sebelum terjun meliput. Kaya masa orientasi gitu deh.
Nggak semua perusahaan media melakukan ini. Yang saya tahu majalah sana (ya, ya, yang saya susah move on dari ambisi jadi jurnalis di sana itu lho), juga membekali carep-carepnya di kelas belajar.
Setelah pembekalan selesai, carep bakalan ditandemkan dengan reporter untuk awal-awal penugasan. Tujuannya bagus, supaya bisa belajar dari yang senior tentang hal-hal praktis di lapangan. Enak kan, nggak langsung dilepas sendirian :D
Saya dan 10 carep lain adalah angkatan 2014. Di kelas belajar, kadang-kadang anak marketing juga masuk kelas untuk bahasan tertentu. Beberapa materi pembekalan memang bersifat umum tentang perusahaan.
Di media kita (cieeh kita, haha), ada sekat yang disebut garis api antara pemasaran dan pemberitaan. Jurnalis di sini dilarang nyambi cari iklan, bahkan cuma membantu penulisan advertorial juga nggak boleh. Marketing punya penulis iklan sendiri. Fotografer berita dan iklannya pun berbeda. Reporter cari narasumber untuk pemberitaan. Marketing cari klien buat masang iklan. Jelas batasannya.
Lagi-lagi bersyukur kerja di media yang udah 'ajeg' dari segi sistem maupun finansialnya. Beberapa wartawan (biasanya media lokal, beberapa doang mungkin) punya tugas ganda: wartawan merangkap sales iklan.
Lucunya, garis api itu tidak hanya berlaku dalam hal tugas, tapi juga penampilan, hihi.
Beneran deh, carep sama marketing itu 'cangkang luarnya' lumayan timpang!
Nggak usah bilang posisi kita pas perkenalan pun orang tahu mana carep, mana pemasaran. Yang marketing tentu lebih modis dan terawat :D
Yang carep? Nggak jauh dari kemeja (kadang kaos!), jeans dan kets.
Tapi dalam pergaulan sih nggak bersekat. Anak-anak marketing itu menyenangkan kok, nggak sok-sokan ekslusif. Bukan cuma mereka sih, semua orang di berbagai bidang dan posisi juga baik dan ramah. Beneran nih, bukan jilat-jilat atasan.
Buktinya, kemarin saya ikutan rapat kompartemen ekonomi. Sebenernya terpaksa 'diikutkan' biar tahu suasana penentuan berita-berita yang bakal digarap. Saya nggak sendiri. Bang Averos sama Vino G Bastian abal-abal juga kebagian ikut di sini. Carep yang lain dibagi-bagi ke kompartemen nasional dan hukum.
Suasana rapat itu egaliter banget! Semua orang bebas berpendapat tentang hal-hal yang menarik diangkat. Reporter boleh mengkritisi bahkan menolak usulan topik dari redaktur. Asalkan masuk akal dan sopan, itu fair. Bahkan para carep juga dimintai saran dan usulan oleh redaktur pelaksana. Padahal awalnya kita, eh saya doang, merasa udah kaya obat nyamuk. Cuma duduk manis dan mendengarkan. Jadi merasa tersanjung gitu pada 'ngeh' ada kita dan diajak terlibat diskusi :D
Selama rapat di kompartemen ekonomi, saya nggak mudeng banget isu-isu yang dibahas :p
Bukan tentang harga bawang naik jadi berapa. Bukan. Itu sih bisa baca di media online.
Koran dan online mengutamakan kesegaran atau aktualitas, sedangkan majalah memberikan kemendalaman. Emang beda jualannya dari online, koran, majalah, televisi dan radio. Masing-masing punya produk khas.
Emm, waktu ditanya usulan berita, saya jawab belum punya. Karena nggak mudeng tadi, hahaa. Saya udah baca-cara isu terhangat sih buat rapat kompartemen. Saya bikin catatan-catatan buat persiapan. Sayangnya, itu masuk ke nasional dan hukum.
Pait! Pait! Pait! Semoga nggak ditempatkan di Ekonomi. Amin... Eh khusus yang ini off the record aja ya jangan bilang-bilang ke orang. Sttt, diem-diem aja daripara dipecat, hahaha
Berita-berita apa yang akan dimunculkan untuk edisi minggu depan merupakan hasil rapat itu, bukan keputusan satu orang yang paling tinggi jabatannya.
Ah, tuh kan! Lagi-lagi bersyukur punya lingkungan kerja yang asyik banget :D
Oh ya, tulisan ini merupakan curhat saya di hari keempat masuk kelas belajar. Kesannya hepi-hepi gitu ya jalannya. Ya emang, orang masih kelas belajar. Nggak tahu deh kalau udah dikasih penugasan untuk meliput.
Denger-denger sih suasana sering tegang menjelang deadline terbit majalah. Terus redaktur kadang mendadak galak kalau materi liputan kurang atau gagal nembus narasumber.
Oh ya, saya udah bikin sidik jari buat masuk ruangan-ruangan di sana lho. Ada nomor induk karyawannya juga. Berarti udah sah kan ni jadi jurnalis di sana? Hahahaa, girang banget! Sama noraknya kaya pas lihat sebuah meja kerja kosong bertuliskan nama: Putri Kartika Utami.
Asli seneng banget. Ciyusan mi apa aja deh :D
Senin, 20 Januari 2014
Pilihan Hidup
Bakalan keseret-seret. Bakalan jadi tukang nyontek. Bakalan menggantungkan nilai-nilai rapot saya pada kemurahan teman yang rela kasih contekan.
Tidak ada orang yang jenius di semua bidang. Ketika kamu tidak bisa melalukan sesuatu, selalu ada orang lain yang bisa melakukannya untukmu.