***
Hampir Desember!
Berarti saya harus mulai melamar
pekerjaan lain karena kontrak kerja saya habis per 1 Desember ini. Saat ini, saya bekerja sebagai “kacung” pemerintah dalam program bantuan untuk para
petambak garam. Asli, kerjaan ini nggak nyambung banget sama minat saya maupun latar
belakang pendidikan saya.
Kok bisa?
Teteh saya bilang, saya beruntung mendapatkan
pekerjaan ini. Yes, how lucky yet stupid I am!
Kata Teteh, orang lain berebut untuk mendapatkan posisi saya sekarang tapi saya
tidak betah dan ingin masa kontrak cepat berakhir.
Sebenarnya gaji saya lumayan,
waktu kerja juga fleksibel. Pokoknya kerjanya enak banget. Cuma hati saya
kan nggak di sini.
Eaaaah! Lebay tak terkira :p
Eh tapi beneran lho hati saya nggak di sini…
Eaaaah! Lebay tak terkira :p
Eh tapi beneran lho hati saya nggak di sini…
Bergelut di dunia tulis-menulis
merupakan cita-cita dari SMP. Waktu anak-anak lain mau jadi
dokter, presiden, polisi atau artis, saya mau jadi penulis. Dulu sih saya
belum tahu jadi penulis apa: penulis buku, penulis berita, penulis diary atau
penulis di kelurahan a.k.a juru tulis :D
Dari SD saya terbiasa nulis diary
karena waktu saya SD belum ada Mamah Dedeh buat dicurhatin, jadi saya cerita
di diary, hahaha.
Pas SMP saya bergabung di ekskul
majalah dinding (mading). Setahun ikutan mading, saya didapuk jadi pemimpin redaksi
di tahun kedua. Pengangkatan saya jadi ketua merupakan “persekutuan jahat” para
senior di ekskul itu. Bukan karena saya pilihan terbaik, tapi karena nggak ada pilihan ^_^;
Padahal saya sengaja nggak mencalonkan diri dan absen saat rapat pemilihan pemimpin redaksi yang baru. Ya nggak Pe-De aja jadi leader, nggak ada bakat.
Padahal saya sengaja nggak mencalonkan diri dan absen saat rapat pemilihan pemimpin redaksi yang baru. Ya nggak Pe-De aja jadi leader, nggak ada bakat.
Di bawah kepemimpinan saya, format mading berubah. Malahan
namanya juga berubah-meskipun akhirnya setelah saya lengser, nama madingnya
kembali ke nama yang lama. Ada beberapa rubrik baru biar papan mading terisi
full oleh karya. Awalnya sih semangat 45, lalu mading itu mandek, hehehee.
Sewaktu duduk bangku SMA, saya
mengikuti ekskul karate. Sebenarnya di sekolah ada mading, cuma ya dikelolanya
oleh anak OSIS. Itupun informasi yang dibagi seputar kegiatan OSIS yang kurang
up to date.
Dan masa ketika memakai seragam putih-abu ini lah saya membulatkan tekad untuk menjadi seorang penulis berita. Pencari berita maksudnya. I wanna be journalist! Gara-garanya sepak bola.
Dan masa ketika memakai seragam putih-abu ini lah saya membulatkan tekad untuk menjadi seorang penulis berita. Pencari berita maksudnya. I wanna be journalist! Gara-garanya sepak bola.
Ya, pas SMA saya keracunan
virus gila bola dari teman-teman. Meskipun nontonnya Liga Inggris, Liga
Champions sama Piala Dunia doang. Itu juga kalau klub-klub besar yang tanding.
Rasanya iri banget melihat wartawan olahraga
Indonesia yang dikirim untuk meliput laga-laga internasional.
Mauuuuuu! Apalagi mereka punya
kesempatan buat nonton lebih dekat, dari pinggir lapangan. Belum lagi pas
konferensi pers bisa lihat para pemain dan pelatih dari deket banget!
Aaaak, I-RI A-BIS!!!
Sungguh ini alasan yang bodoh…
Aaaak, I-RI A-BIS!!!
Sungguh ini alasan yang bodoh…
Ball boy, pemotong rumput stadion
dan OB di kamar ganti pemain adalah profesi yang lebih baik dikejar kalau
tujuannya melihat pemain-pemain favorit dari jarak dekat, ya kan? Iya kan?
Semenjak itu saya mulai mencari
kampus-kampus yang menyediakan jurusan jurnalistik. Saya mengikuti tes masuk di
universitas dan akhirnya terdampar di salah satu kampus yang dulunya bernama IAIN di Ciputat. Sebut saja kampusnya UIN Jakarta, bukan nama sebenarnya :D
Menurut info, saya dan anak-anak
jurnalistik 2008 adalah generasi ke-5. Artinya, jurnalistik di UIN itu masih
bayi dan belum “ajeg”. Selain di UIN, saya diterima di salah satu politeknik
negeri di Bandung jurusan sastra Inggris.
Cuma saya mempertimbangkan minat saya condong ke mana. Biaya kuliah yang murah pun jadi alasan kenapa saya milih UIN, soalnya ibu saya single fighter yang ketiga anak perempuannya masih sekolah. Lagian masa ngambil yang di Bandung, masa belajar sastra Inggris di sekolah teknik?
Karena masih seumur jagung, fasilitas yang saya seringkali nggak memuaskan. Misalnya dosen pengajar mata kuliah jurnalistik yang berpengalaman sebagai jurnalis masih sedikit. Bisa dihitung jari.
Kadang agak kecewa aja kalau tahu dosen pengajar mata kuliah jurnalistik, komunikasi massa dll, nggak pernah berprofesi sebagai wartawan.
Cuma saya mempertimbangkan minat saya condong ke mana. Biaya kuliah yang murah pun jadi alasan kenapa saya milih UIN, soalnya ibu saya single fighter yang ketiga anak perempuannya masih sekolah. Lagian masa ngambil yang di Bandung, masa belajar sastra Inggris di sekolah teknik?
Karena masih seumur jagung, fasilitas yang saya seringkali nggak memuaskan. Misalnya dosen pengajar mata kuliah jurnalistik yang berpengalaman sebagai jurnalis masih sedikit. Bisa dihitung jari.
Kadang agak kecewa aja kalau tahu dosen pengajar mata kuliah jurnalistik, komunikasi massa dll, nggak pernah berprofesi sebagai wartawan.
Soal latar belakang pendidikan sih nggak masalah. Banyak wartawan-wartawan hebat Indonesia yang background pendidikannya bukan jurnalistik. Tapi kalau pengalaman kerja
di media massa, menurut saya harus dimiliki setiap dosen pengajar
jurnalistik.
Bagaimana mana bisa seorang mengajarkan cara menjadi seorang jurnalis yang baik sementara dia tidak punya pengalaman apapun di dunia kerja pers? Ibarat belajar soal wirausaha, tapi pengajarnya bukan enterpreneur. Kurang afdol.
Bagaimana mana bisa seorang mengajarkan cara menjadi seorang jurnalis yang baik sementara dia tidak punya pengalaman apapun di dunia kerja pers? Ibarat belajar soal wirausaha, tapi pengajarnya bukan enterpreneur. Kurang afdol.
Selama menjadi mahasiswa saya
aktif sebagai reporter. Bukan di Lembaga Pers Mahasiswa yang kritis terhadap
kebijakan-kebijakan kampus, justru saya menjadi reporter yang
menyuplai berita bagi website resmi universitas. Tugasnya meliput kegiatan kampus maupun
mahasiswa untuk mempromosikan universitas saya. Ya semacam media-media pada
masa Orde Baru lah: menjadi mitra dan corong pemerintah :p
Saya paling suka meliput
kegiatan-kegiatan UKM daripada kegiatan pejabat kampus. Terutama UKM pecinta
alam dan pecinta lingkungan. Oiya, enaknya punya ID card pers itu saya bisa
leluasa masuk ke acara-acara yang berbayar secara GRATIS, hahaha.
Eh, tapi sialnya juga ada. Pernah
saya ditugaskan meliput seminar matematika nasional yang diikuti para guru
matematika seluruh Indonesia.
Kampret!
Saya terjebak seharian membahas
angka-angka, rumus dan metode mengajar. Seharian!
Pemimpin redaksi sama redaktur
pelaksana nggak terenyuh hatinya ketika saya menolak tugas liputan ini, walaupun saya berdalih selama SMA saya menyontek mata pelajaran itu dari teman. Tiga tahun
full! Jawaban-jawaban di buku tugas matematika saya sepenuhnya karya teman, kecuali soal karena itu buatan guru matematika atau penulis buku paket :p
Malsuin Surat Magang
Fakultas berhenti menerbitkan
surat pengantar magang buat mahasiswa tepat ketika saya di semester 4. Liburan
semester yang cukup panjang, tadinya saya niatkan untuk magang di media besar tidak
terealisasi gara-gara itu. Sempet protes protes ke sekretaris jurusan. Bagusnya kan mahasiswa jurnalistik itu harus praktek di lapangan, bukan cuma mendengarkan
teori di kelas. Tapi itu sudah kebijakan fakultas, katanya.
Saking pengennya magang, saya
membuat surat pengantar palsu. Sayangnya ketahuan pas minta cap ke TU. Pegawai
TU itu memarahi saya, padahal surat itu saya simpan di tengah, di antara berlembar-lembar surat
aktif kuliah biar tidak terdeketksi, hehehe (don’t try this at home).
Bagusnya, saya lihat dari tahun ke tahun jurusan saya yang masih bayi ini berkembang lebih baik dengan bertambahnya umur, biaya SPP dan mahasiswa :-D
Bagusnya, saya lihat dari tahun ke tahun jurusan saya yang masih bayi ini berkembang lebih baik dengan bertambahnya umur, biaya SPP dan mahasiswa :-D
Balik lagi soal magang. Akhirnya
keinginan untuk praktek kerja di media itu terpenuhi sewaktu mengerjakan
skripsi. Berbekal surat penelitian, saya mewawancarai Pak Johan, produser
program in-depth di statiun TV swasta. Sebenarnya bahasan skripsi saya tidak perlu
magang, cukup wawancara saja.
Hari itu saya berangkat diantar teman untuk wawancara sambil membawa CV dan foto dengan niat minta dibolehin magang. Kalau ditolak mau maksa :D
Hari itu saya berangkat diantar teman untuk wawancara sambil membawa CV dan foto dengan niat minta dibolehin magang. Kalau ditolak mau maksa :D
Sesi tanya jawab dimulai. Di
akhir wawancara, saya ragu-ragu mengutarakan niat magang. Saya hampir berpamitan
setelah mengakhiri tanya jawab, sampai Pak Johan melontarkan pertanyaan, “kamu
nggak mau magang?”
Saya sontak menjawab mau. Nggak
lupa saya ceritakan sebenarnya saya sudah membawa CV dan foto untuk melamar.
Akhirnya dia meminta berkas-berkas saya untuk dia serahkan langsung ke HRD. Dua
hari kemudian saya dipanggil untuk mulai magang. Cihuy!
Sebenarnya, kisah akhir skripsi
saya bukan membahas berita di program itu. Saya harus ganti
objek penelitian karena alesan tertentu. Penelitiannya gagal. Skripsi saya buat
dari awal: dari bab niat dan diikuti bab turunannya.
Kata teman, saya rugi banget. Udah magang sebulan tapi penelitiannya gagal. Tapi saya merasa nggak demikian.
Justru ngerasa beruntung menjadi anak magang di program investigasi. Saya
ikut serta melihat para reporter meriset, menelusuri fakta dan teknik membuat
narasumber agar mau berbicara.
Saya bertemu macam-macam narasumber dari yang banci kamera sampai yang benci kamera. Saya juga sempat melihat istri pejabat desa terdakwa korupsi nangis-nangis, agar gambar suaminya tidak ditayangkan dan kasusnya tidak diangkat ke masyarakat luas.
Saya bertemu macam-macam narasumber dari yang banci kamera sampai yang benci kamera. Saya juga sempat melihat istri pejabat desa terdakwa korupsi nangis-nangis, agar gambar suaminya tidak ditayangkan dan kasusnya tidak diangkat ke masyarakat luas.
Sebulan magang itu juga saya bisa
keluar masuk gedung DPR, kementerian dan bertemu orang-orang yang sebelumnya
hanya saya lihat di tv. Kalau untuk yang terakhir nggak bangga sih, cuma jadi
tahu aja bagaimana orang itu bertindak dan berbicara ketika kamera belum
menyala.
Pengalaman seperti itu mahal harganya buat saya, karena tidak saya dapatkan di bangku kuliah. Untuk semua pengalaman itu, saya harus mengucapkan terima kasih sama Pak Johan :D
Pengalaman seperti itu mahal harganya buat saya, karena tidak saya dapatkan di bangku kuliah. Untuk semua pengalaman itu, saya harus mengucapkan terima kasih sama Pak Johan :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar