Kamis, 17 September 2015

Deadline

Setiap Senin dan Selasa, saya bawaannya pengen resign terus. Dua hari ini adalah deadline reporter di media tempat kerja saya.

Majalahnya sih emang terbit setiap Kamis. Cuman kan redaktur harus nulis berita dari laporan-laporan reporter. Terus ada proses editing naskah, lay out sampai dicetak. Semuanya udah terjadwal biar bagian sirkulasi bisa mendistribusikan majalah ke agen maupun langganan pada Kamis subuh.

Jadi, kalau misalnya ada kejadian heboh yang mengguncang dunia persilatan pada Selasa sore, itu masih mungkin dikejar. Ada kelonggaran kalau isunya penting banget. Tapi kalau kejadiannya Rabu atau Kamis, ya wassalam. Moment itu lewat saja karena naskah udah di percetakan.

Rabu, saya cuma rapat perencanaan di kompartemen masing-masing, setiap pukul 11 siang, yang pada kenyataanya selalu molor karena pada kesiangan :D

Beres rapat, kegiatan bebas bagi reporter. Yang rajin, mungkin menghadiri undangan atau agenda yang dia minati. Yang males, ehm-macemsayah, melakukan aktivitas lain di luar kerjaan kantor. Istilah budak sakola mah mabal, hahaha.

Para redaktur, yang rajin, udah mulai riset-riset berita untuk bahan penugasan buat reporter. Yang belum mulai bikin, bukan berarti tidak rajin. Barangkali ada kesibukan lain, haghaghag.

Kamis dan Jumat, para reporter masih magabut KECUALI bagi Si Rajin dan Si Kurang Beruntung. Ini cuma kategori asal yang saya bikin sih. Yang rajin ya itu tadi, mereka yang gemar menghadiri undangan-undangan media itu tadi. Yang kurang beruntung adalah para reporter apes yang kebagian vel awal atau laporan yang deadlinenya Jumat siang. Siyal, pekan ini kami dapat makanya kami curhat begini.

Ilustrasi Detlen ini dari sini

Jadi, di redaksi itu ada tiga kompartermen: Nasional, Ekonomi dan Hukum.Saya lagi di Nasional. Liputannya soal isu nasional, yang keseringan tentang pulitiks. Isu beginian masuknya File Tengah, deadlinenya Senin-Selasa DURJANA.

Tapi ada lagi vel awal, yang penugasannya turun Kamis terus deadlinenya juga Kamis, atau mentok-mentoknya Jumat pagi. File ini kudu beres cepat karena disetor duluan ke percetakan biar ga pak-pik-pek sama naskah-naskah rubrik wajib.

Di Kompartemen Nasional, vel awalnya itu semacem rubrik lingkungan, pendidikan, agama, seni, film, resensi buku. Nah, saya beruntung jarang kebagian. Walhasil, kalau Kamis-Jumat saya lebih sering terlihat menghabiskan uang di tempat jajan daripada liputan :P

Eh tapi dulu saya sering resensi buku lho. Datengin acara launching atau diskusi buku, terus ditulis. Rajin kan?

Ya, ya, itu dulu pas awal-awal dipindahin dari Hukum ke Nasional. Sekarang, berharap saya rajin kaya dulu itu ibarat pepatah mah jauh panggang dari api. Hiks...

Lagi detlen kok sempet-sempetnya curhat? Kamu bohong ya bilang kebagian vel awal?

Nggak, beneran kok saya dapet penugasan soal pendidikan. Narasumbernya dua. Yang satu sih udah tembus. Ini lagi nungguin yang satunya lagi, yang nampaknya sedang sibuk sekali. Karena kalau lihat percakapan sms kami, saya seperti sedang bermonolog:

"Pak, saya Putri dari majalah X. Mau tanya soal bla bla bla ke Bapak. Ada waktu untuk ketemu? Terimakasih :) "
 
"Pak gimana wawancara soal itu, kira-kira kapan saya bisa ketemu Bapak"

"Pak, kalau tidak memungkinkan ketemu, boleh wawancara via telepon? Atau ada rekomendasi narasumber lain? Deadline saya malam ini :D "

Saya hampir pengen sms, "Pak? Pak? Bapak mati ya?"

Untungnya nggak jadi karena Si Bapak Dirjen di Kementerian X itu bales irit, "Ya boleh."

Vel awal itu deadlinenya pendek. Dari pelajari isu, lobi narasumber sampai dibikin laporan, waktunya sehari atau ada tolerasi sampai Jumat pagi, sebelum Jumatan. Masalah lain soal narasumber. Mereka itu unpredictable responnya.

Kadang, yang kita pikir gampang, taunya susah. Narasumber yang kita udah suuzon nggak bakalan tembus, taunya sangat responsif. Ada yang kata orang, wah dia mah gampang dan orangnya baik banget, tapi pas kita dihubungi kok dicuekin. Ini rasanya hina dina banget, "Masa dapet dia aja nggak nembus, gue pernah ke dia, gampang kok." Duh, menyakiti sanubari banget!

Ya gitu deh kerjaan saya: nggak jelas. Mirip kelakuan yang lagi nulis ini. Yang jelas, meskipun keinginan "gue mau resign!" sering muncul, saya nggak pergi-pergi. Nggak beneran bilang mau cabut.

Ooh, inikah namanya cinta? INIKAH? INIKAH?

Kamis, 10 September 2015

Hemat

Bukan cuma Jokowi yang punya paket kebijakan soal ekonomi. Saya, Kakak Flora dan Teh Birny sudah bikin dari sebulan lalu.

Sebulan lalu, di sebuah resto masakan Jepang, kita dapet hidayah untuk menjauhi hidup boros yang kita jalani: ngemall, jajan, nonton, ngetrip, berenang, karaoke, ke salon (yang ini saya ga ikutan) de-el-el.

Gimana ya, lingkungan mendukung juga sih. Mall sama apartemen letaknya cuma selemparan batu dari kantor. Jam kerja, fleksibel. Maka, kita sepakat menjalankan tight money policy alias kebijakan pengetatan uang. Caranya, mengurangi peredaran uang kita di penyedia barang dan jasa.

Nggak cukup mengurangi aktivitas hedonis, layaknya orang bener, kita bahas soal investasi. Dari bikin tabungan baru khusus nimbun duit, reksadana, arisan, investasi emas, properti dll.

Bismillah...

Semenit pasca ketok palu, kita merasa perlu karaokean :D
Tuh kan, di awal aja udah ketahuan penghematan ini cuma wacana yang mengawang-awang di langit ke tujuh. Ketinggian, karena langit kamar pun tangan tak mampu menggapai.
Dasar lemah iman!
 
Dua minggu lalu, hari itu belum ada kerjaan. Posisinya, saya lagi beli jus deket kantor. Bingung mau ngajakin siapa yang mau mabal saat hari dan jam kerja. Pilihannya ya cuma sama manusia dari kantor sendiri. Da kantor batur mah kerja teh beneran. Teu bisa mabal-mabal jiga kami.

Saya telepon Teh Birny. Doi lagi di mall, riset harga tv. Pilihan nyamperin dia adalah opsi yang saya tahu salah banget.

But I did.

Baru masuk mall, Kakak Flora nelepon nanya lagi di mana. Ternyata dia juga lagi di mall.

Ini sungguh petaka!

Di meeting point, saya mengingatkan soal kebijakan pengetatan uang dua minggu lalu. Biar terlihat konsisten, padahal saya menggoda mereka biar mau nonton pilem :D

Flora lagi butuh karaoke banget, sementara Teh Birny bilang laper. Petaka benar-benar terjadi. Semua resolusi hedon itu kita tindak lanjuti, kecuali nonton karena lagi nggak ada pilem yang menarik.

Pulangnya, saya mengutuki diri di depan mereka. Bilang kalau kebersamaan ini sungguh tidak baik bagi finansial saya. Ekonomi jadi melambat. Kemarin, saya baru berenang sama Mira dan Nufus. Weekend nanti, mau ke Bandung bareng keluarga. 

Dipastikan ini mah akhir bulan bakalan ngindomie terus. Kabar baiknya di kolong maja ada tiga dus Indomie rasa kari ayam, soto dan mie goreng. Sembako lebaran dari kantor. Lumayan kan tiga varian mie buat tiga waktu makan. Hiks...

Saya perlu cerita karena kemarin kita ngemall lagi. Sok-sok-an bosen makan di warteg dan lagi mau jajan pasta. Kelar mengisi perut, saya ngajak karaoke.

Subhanallah, keduanya menolak!

"Inget kesepakatan kita kemarin," gitu katanya.

Rupiah-rupiah di dompet terselamatkan. Tapi cuma sebentar karena Teh Birny ngajakin mampir ke hypermart. Deja Vu. Aroma petaka meruap, "Pulang sana duluan. Jangan ikut!"

Kaki saya merespon bisikan ghaib itu dengan melangkah pergi. Tapinya ke belakang Teh Birny, yang sudah nenteng keranjang belanjaan. Di sisinya ada Kakak Flora.

Duh gusti, semoga saya diampuni!