Kamis, 13 Februari 2014

Being a Journalist

Super late post. Kelamaan jadi draft. Tapi kalau dibuang kan sayang. Ini dibuat akhir November 2013...

***

Hampir Desember!
Berarti saya harus mulai melamar pekerjaan lain karena kontrak kerja saya habis per 1 Desember ini. Saat ini, saya bekerja sebagai “kacung” pemerintah dalam program bantuan untuk para petambak garam. Asli, kerjaan ini nggak nyambung banget sama minat saya maupun latar belakang pendidikan saya.

Kok bisa?
Teteh saya bilang, saya beruntung mendapatkan pekerjaan ini. Yes, how lucky yet stupid I am! Kata Teteh, orang lain berebut untuk mendapatkan posisi saya sekarang tapi saya tidak betah dan ingin masa kontrak cepat berakhir.

Sebenarnya gaji saya lumayan, waktu kerja juga fleksibel. Pokoknya kerjanya enak banget. Cuma hati saya kan nggak di sini.

Eaaaah! Lebay tak terkira :p
Eh tapi beneran lho hati saya nggak di sini…
Bergelut di dunia tulis-menulis merupakan cita-cita dari SMP. Waktu anak-anak lain mau jadi dokter, presiden, polisi atau artis, saya mau jadi penulis. Dulu sih saya belum tahu jadi penulis apa: penulis buku, penulis berita, penulis diary atau penulis di kelurahan a.k.a juru tulis :D

Dari SD saya terbiasa nulis diary karena waktu saya SD belum ada Mamah Dedeh buat dicurhatin, jadi saya cerita di diary, hahaha.
Pas SMP saya bergabung di ekskul majalah dinding (mading). Setahun ikutan mading, saya didapuk jadi pemimpin redaksi di tahun kedua. Pengangkatan saya jadi ketua merupakan “persekutuan jahat” para senior di ekskul itu. Bukan karena saya pilihan terbaik, tapi karena nggak ada pilihan ^_^;

Padahal saya sengaja nggak mencalonkan diri dan absen saat rapat pemilihan pemimpin redaksi yang baru. Ya nggak Pe-De aja jadi leader, nggak ada bakat.

Di bawah kepemimpinan saya, format mading berubah. Malahan namanya juga berubah-meskipun akhirnya setelah saya lengser, nama madingnya kembali ke nama yang lama. Ada beberapa rubrik baru biar papan mading terisi full oleh karya. Awalnya sih semangat 45, lalu mading itu mandek, hehehee.

Sewaktu duduk bangku SMA, saya mengikuti ekskul karate. Sebenarnya di sekolah ada mading, cuma ya dikelolanya oleh anak OSIS. Itupun informasi yang dibagi seputar kegiatan OSIS yang kurang up to date.

Dan masa ketika memakai seragam putih-abu ini lah saya membulatkan tekad untuk menjadi seorang penulis berita. Pencari berita maksudnya. I wanna be journalist! Gara-garanya sepak bola.

Ya, pas SMA saya keracunan virus gila bola dari teman-teman. Meskipun nontonnya Liga Inggris, Liga Champions sama Piala Dunia doang. Itu juga kalau klub-klub besar yang tanding. 

Rasanya iri banget melihat wartawan olahraga Indonesia yang dikirim untuk meliput laga-laga internasional.
Mauuuuuu! Apalagi mereka punya kesempatan buat nonton lebih dekat, dari pinggir lapangan. Belum lagi pas konferensi pers bisa lihat para pemain dan pelatih dari deket banget!

Aaaak, I-RI A-BIS!!!

Sungguh ini alasan yang bodoh…
Ball boy, pemotong rumput stadion dan OB di kamar ganti pemain adalah profesi yang lebih baik dikejar kalau tujuannya melihat pemain-pemain favorit dari jarak dekat, ya kan? Iya kan?

Semenjak itu saya mulai mencari kampus-kampus yang menyediakan jurusan jurnalistik. Saya mengikuti tes masuk di universitas dan akhirnya terdampar di salah satu kampus yang dulunya bernama IAIN di Ciputat. Sebut saja kampusnya UIN Jakarta, bukan nama sebenarnya :D

Menurut info, saya dan anak-anak jurnalistik 2008 adalah generasi ke-5. Artinya, jurnalistik di UIN itu masih bayi dan belum “ajeg”. Selain di UIN, saya diterima di salah satu politeknik negeri di Bandung jurusan sastra Inggris.

Cuma saya mempertimbangkan minat saya condong ke mana. Biaya kuliah yang murah pun jadi alasan kenapa saya milih UIN, soalnya ibu saya single fighter yang ketiga anak perempuannya masih sekolah. Lagian masa ngambil yang di Bandung, masa belajar sastra Inggris di sekolah teknik?

Karena masih seumur jagung, fasilitas yang saya seringkali nggak memuaskan. Misalnya dosen pengajar mata kuliah jurnalistik yang berpengalaman sebagai jurnalis masih sedikit. Bisa dihitung jari.

Kadang agak kecewa aja kalau tahu dosen pengajar mata kuliah jurnalistik, komunikasi massa dll, nggak pernah berprofesi sebagai wartawan.

Soal latar belakang pendidikan sih nggak masalah. Banyak wartawan-wartawan hebat Indonesia yang background pendidikannya bukan jurnalistik. Tapi kalau pengalaman kerja di media massa, menurut saya harus dimiliki setiap dosen pengajar jurnalistik.

Bagaimana mana bisa seorang mengajarkan cara menjadi seorang jurnalis yang baik sementara dia tidak punya pengalaman apapun di dunia kerja pers? Ibarat belajar soal wirausaha, tapi pengajarnya bukan enterpreneur. Kurang afdol.

Selama menjadi mahasiswa saya aktif sebagai reporter. Bukan di Lembaga Pers Mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan kampus, justru saya menjadi reporter yang menyuplai berita bagi website resmi universitas. Tugasnya meliput kegiatan kampus maupun mahasiswa untuk mempromosikan universitas saya. Ya semacam media-media pada masa Orde Baru lah: menjadi mitra dan corong pemerintah :p

Saya paling suka meliput kegiatan-kegiatan UKM daripada kegiatan pejabat kampus. Terutama UKM pecinta alam dan pecinta lingkungan. Oiya, enaknya punya ID card pers itu saya bisa leluasa masuk ke acara-acara yang berbayar secara GRATIS, hahaha.

Eh, tapi sialnya juga ada. Pernah saya ditugaskan meliput seminar matematika nasional yang diikuti para guru matematika seluruh Indonesia.

Kampret!
Saya terjebak seharian membahas angka-angka, rumus dan metode mengajar. Seharian!
Pemimpin redaksi sama redaktur pelaksana nggak terenyuh hatinya ketika saya menolak tugas liputan ini, walaupun saya berdalih selama SMA saya menyontek mata pelajaran itu dari teman. Tiga tahun full! Jawaban-jawaban di buku tugas matematika saya sepenuhnya karya teman, kecuali soal karena itu buatan guru matematika atau penulis buku paket :p

Malsuin Surat Magang
Fakultas berhenti menerbitkan surat pengantar magang buat mahasiswa tepat ketika saya di semester 4. Liburan semester yang cukup panjang, tadinya saya niatkan untuk magang di media besar tidak terealisasi gara-gara itu. Sempet protes protes ke sekretaris jurusan. Bagusnya kan mahasiswa jurnalistik itu harus praktek di lapangan, bukan cuma mendengarkan teori di kelas. Tapi itu sudah kebijakan fakultas, katanya.
Saking pengennya magang, saya membuat surat pengantar palsu. Sayangnya ketahuan pas minta cap ke TU. Pegawai TU itu memarahi saya, padahal surat itu saya simpan di tengah, di antara berlembar-lembar surat aktif kuliah biar tidak terdeketksi, hehehe (don’t try this at home).

Bagusnya, saya lihat dari tahun ke tahun jurusan saya yang masih bayi ini berkembang lebih baik dengan bertambahnya umur, biaya SPP dan mahasiswa :-D
Balik lagi soal magang. Akhirnya keinginan untuk praktek kerja di media itu terpenuhi sewaktu mengerjakan skripsi. Berbekal surat penelitian, saya mewawancarai Pak Johan, produser program in-depth di statiun TV swasta. Sebenarnya bahasan skripsi saya tidak perlu magang, cukup wawancara saja.

Hari itu saya berangkat diantar teman untuk wawancara sambil membawa CV dan foto dengan niat minta dibolehin magang. Kalau ditolak mau maksa :D
Sesi tanya jawab dimulai. Di akhir wawancara, saya ragu-ragu mengutarakan niat magang. Saya hampir berpamitan setelah mengakhiri tanya jawab, sampai Pak Johan melontarkan pertanyaan, “kamu nggak mau magang?”
Saya sontak menjawab mau. Nggak lupa saya ceritakan sebenarnya saya sudah membawa CV dan foto untuk melamar. Akhirnya dia meminta berkas-berkas saya untuk dia serahkan langsung ke HRD. Dua hari kemudian saya dipanggil untuk mulai magang. Cihuy!
Sebenarnya, kisah akhir skripsi saya bukan membahas berita di program itu. Saya harus ganti objek penelitian karena alesan tertentu. Penelitiannya gagal. Skripsi saya buat dari awal: dari bab niat dan diikuti bab turunannya.
Kata teman, saya rugi banget. Udah magang sebulan tapi penelitiannya gagal. Tapi saya merasa nggak demikian. Justru ngerasa beruntung menjadi anak magang di program investigasi. Saya ikut serta melihat para reporter meriset, menelusuri fakta dan teknik membuat narasumber agar mau berbicara.

Saya bertemu macam-macam narasumber dari yang banci kamera sampai yang benci kamera. Saya juga sempat melihat istri pejabat desa terdakwa korupsi nangis-nangis, agar gambar suaminya tidak ditayangkan dan kasusnya tidak diangkat ke masyarakat luas.
Sebulan magang itu juga saya bisa keluar masuk gedung DPR, kementerian dan bertemu orang-orang yang sebelumnya hanya saya lihat di tv. Kalau untuk yang terakhir nggak bangga sih, cuma jadi tahu aja bagaimana orang itu bertindak dan berbicara ketika kamera belum menyala.

Pengalaman seperti itu mahal harganya buat saya, karena tidak saya dapatkan di bangku kuliah. Untuk semua pengalaman itu, saya harus mengucapkan terima kasih sama Pak Johan :D

Si Item

Asli, saya ngakak begitu liat gambar ini di Facebook. Langsung klik kanan, save! Harus dibikin catetannya nih di blog :D

Kenapa gambar ini lucu?
Gambarnya menjelaskan beda tas cewek dan cowok. Kesannya kaum hawa itu ribet banget soal tas. Tiap acara pake tas yang beda-beda.

Kalau ngeliat jenis kelamin sih, saya tergolong kelompok yang kiri. Tapi kalau liat jenis tas yang dipakai...
Mutlak, saya termasuk yang kanan (^_^);

Yup! I always use the same bag for any ocassion! Lol...
Kuliah, ke mall, ngantor, maen, nongkrong, ke pantai, piknik ke luar kota, sampai naik gunung, ya tasnya yang itu-itu juga.

Namanya si item. Baru dikasih nama pas catetan ini dibikin. Biar kesannya akrab dan punya panggilan sayang :D

Warnanya item. Full black. Cuman ada garis pink vertikal di bagian samping tas, selebar 1 cm. Tasnya simpel, kaya yang manggulnya.

Am I that simple? Oke, oke, kadang suka rusuh sendiri sih. Puas?

Ini Lho tersangkanya! Penampakan Si Item
Si item udah menemani saya selama hampir lima tahun. Dari 2009 kayanya, atau 2008 akhir gitu deh. Setia banget doi. Mau aja digembol ke mana-mana. Pernah dibawa nginep di hotel bintang lima, sampai nginep di hotel yang bintangnya nggak terhingga alias di alam terbuka :D

Kita pernah muncak di tiga gunung: Gunung Gede, Guntur dan Papandayan. Padahal doi cuma daypack, buka tas gunung. Demi loyalitas, dia mau aja ikut nanjak. Nggak nolak. Nggak minder sama tas-tas lainnya yang segede kulkas waktu dijejerin sama tas pendaki lain.

Si Item juga yang nemenin saya backpacking pertama kali. Waktu itu ke Jogja. Naik kereta ekonomi seharga Rp 35.000 dari Senen ke Lempuyangan. Keretanya sungguh tak beradab. Di bawah kursi saya ada yang tidur memanjang, jadi risih. Pria-pria yang duduk di hadapan saya juga bikin takut. Saya peluk kenceng-kenceng si Item.

Sering banget punya pengalaman pertama sama si Item.Pertama kali ngerasain interview kerja. Hari pertama masuk kerja yang segalanya masih terasa canggung. Pertama kali coba piknik ala backpacker dan pertama kali naik gunung, kaya yang udah disebutin sebelumnya. Sama si Item, saya thawaf mengelilingi Kabah. Di dalam perut si Item, saya simpan air zam-zam untuk diminum ketika haus. Pesanan saudara juga sih, buat obat. Di Islam, air zam-zam itu banyak khasiatnya. Nah apalagi kalau dibawa thawaf sambil mulut kita berdoa.

Pokoknya selama hampir lima tahun ini, Si Item tau apa aja yang saya lakuin. Dengan loyalitas tinggi, dia selalu ikut ke mana aja saya pergi. Makasih ya, Tem. It means a lot to me, muaaach!

Sekarang, itemnya si Item nggak segarang dulu. Pudar dimakan usia. Selain soal warna, doi masih prima banget! Resleting belum jebol atau macet. Kainnya nggak ada yang sobek. Ciamik bangetlah bodinya, kaya body yang p