Kamis, 04 Juli 2013

Tentang Ekalaya


Masih tentang novel Pulang karya Leila S. Chudori. Pada tulisan sebelumnya, saya berniat mengulas tentang Ekalaya. So, here we go!

Di antara banyak tokoh wayang, Dimas mengagumi Bima dan Ekalaya. Dimas tertarik pada Bima karena kesetiaannya pada Drupadi, perempuan yang menikahi lima kakak beradik Pandawa. Meskipun cintanya tak pernah berbalas, kesetian Bima tidak surut sedikit pun. Dia selalu melindungi Drupadi. Menurut saya, alasan Dimas menyukai Bima itu karena dia merasa dirinya bagaikan Bima dan Drupadi adalah Indonesia. Nasib Dimas dan Bima sama, begitulah kira-kira yang saya tangkap :D

Ekalaya memang spesial. Leila memberikan “ruang” tersendiri untuk menceritakan kisahnya. Namanya tidak terlalu dikenal di dunia wayang karena Ekalaya kalah pamor oleh Arjuna. Lintang selalu penasaran mengapa ayahnya menyukai Ekalaya. Akhirnya, saya jadi ikut-ikutan mengidolakan si mas Eka deh. *sok akrab!*

Pada bab Lintang Utara, terselip bagian khusus untuk Ekalaya. Saya jatuh cinta pada Ekalaya. Maka, saya berikan “ruang” yang luas di sini untuk menceritakan tokoh wayang tersebut.

Pulang, halaman 183-196:
"Lalu, kenapa Ekalaya?" Tanyaku.
“Hanya dia yang bisa menandingi kemahiran panah Arjuna tanpa berguru pada Resi Dorna,” kata Ayah.
Pada kisah Ekalaya, menurut Ayah, kita melihat bagaimana seseorang bisa mencapai kesempurnaan ilmu tanpa harus berguru pada sang guru: bagaimana akhirnya pencapaian itu dia raih karena derasnya keinginan dari diri sendiri. Tentu saja cerita ini diawali oleh tokoh Ekalaya yang ingin mahir memanah di bawah ajaran Resi Dorna.
Aku ingat ketika Ayah menerima sebuah bingkisan titipan dari adiknya, Om Aji: wayang kulit Bima dan Ekalaya. Mata Ayah berkilat-kilat. Dia langsung menganggantung kedua helai sosok wayang kulit itu di tembok ruang tengah sembari mengatakan  tokoh Ekalaya sukar dicari. Om Aji pasti mencarinya hingga ke pelosok Solo.
Begitulah. Di suatu malam yang gelap, lebih gelap daripada hitamnya malam tanpa bulan, Resi Dorna berjalan di hutan yang meruapkan aroma lotus. Seorang lelaki muda berkulit amat kelam hingga Resi Dorna terkejut melihat sinar mata yang mendadak mencegatnya.
“Siapa engkau anak muda?”
Seorang lelaki muda, begitu tinggi, begitu tegap, yang seluruh tubuhnya hanya terdiri dari otot dan kulit kenyal berwarna kelam, dengan satu gerakan yang anggun membungkuk sedalam-dalamnya. “Resi Dorna, guru dari segala guru, aku adalah Ekalaya. Putra Hiranyadanush.”
Resi Dorna setengah tak sabar, segera memotong kalimat yang diutarakan dengan penuh irama itu, “Ya, ya, ada apa, Nak?”
Masih menyembah, Ekalaya menyatakan keinginannya untuk berguru kepadanya, kepada sang maestro panah yang dipuja sejagat. Tanpa menanti sedetik pun, Resi Dorna menyatakan ia tak mungkin menjadi gurunya karena janji ekslusivitas kepada para putera Kuru. Tetapi yang tak diucapkan Dorna adalah, dia hanya ingin Arjuna yang menjadi pemanah terbaik di dunia.
Ekalaya pantang surut semangat. Di hadapannya adalah guru sepuh yang sudah lama ia paterikan dalam jantungnya. Tak mungkin Ekalaya membiarkan Dorna pergi sebelum dia mendapatkan sesuatu yang bisa digenggam.
“Guru…”
“Saya bukun gurumu.”
“Bagi hamba, engkau selalu Guruku. Paling tidak berilah restu kepada hamba, hamba mohon,” Ekalaya menyembah kak Resi Dorna, sang kakek tua itu akhirnya tersentuh juga. Ia mengusap kepala Ekalaya.
“Baiklah, kurestui engkau, Nak.”
Sebatang mercon meledak di dalam mata Ekalaya. Kegirangannya begitu nyata hingga dia mencium kaki Dorna dan segera berlari menembus hutan.
Setelah beberapa tahun, setelah putera Pandawa dan Kurawa mulai dewasa, sudah termaktubkan bahwa Arjuna dalah pemanah terbaik di seluruh jagat. Tak ada yang membantah, tak ada yang menantang. Dalam pertarungan besar maupun kecil, Arjuna akan tampil Berjaya dengan busur dan anak panahnya.
Syahdan, di hutan yang disiram warna ungu karena penuh sesak oleh mekarnya semak lavender, Arjuna dan Bima serta rombongan berburu tengah mengintai seekor kijang dari kejauhan. Baru saja Arjuna mempersiapkan anak panahnya, tiba-tiba saja: Tap! Tap! Tap!
Begitu cepat. Begitu lekas. Lima batang anak panah hampir sekaligus menancap di dada kijang yang malang. Kijang itu langsung tewas. Bukan hanya rombongan istana, tetapi terlebih Arjuna, pemanah terbaik sejagat itu, terpana sekaligus tersinggung sembari bertanya-tanya, siapa gerangan pemanah yang bisa menewaskan kijang ini dengan lima batang anak panah secara jitu. Para ksatria dan punggawa, apalagi Arjuna, tahu betul bahwa yang bisa memanah dengan lima anak panah tepat ke jantung sang kijang itu bukan pemanah sembarangan. Setelah berhasil mengatur nafas, Bima mengeluarkan geramannya, “Siapakah gerangan yang memanah? Apa Guru Dorna menyusul kita? Barangkali beliau ingin menguji?”
Pertanyaaan itu seolah ingin menghibur adindanya yang begitu kecewa karena merasa ada pemanah yang jauh lebih prima daripada dirinya. Dan jika itu Resi Dorna, maka tak mengapa, karena dialah sang guru.
Semak belukar ungu  lavender bergerak. Wajah Arjuna yang sudah kehilangan senyum semakin lonjong. Gelap termakan cemburu. Dia merasa itu pasti bukan Resi Dorna, karena gurunya pastilah member ujian dengan cara lain. Ini pasti ksatria lain. Arjuna mengikuti gerak-gerik dedaunan. Ketika dia menguak semak, terlihatlah seorang lelaki menjulang yang menyandang busur dan anak panah. Kulitnya berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Arjuna terpana. Hatinya semakin terbakar cemburu. Siapakah lelaki berkulit gelap bercahaya ini? Dan dari mana dia belajar memanah dengan begitu jitu?
“Siapakah engkau? tanya Bima yang sudah menyusul di belakang Arjuna.
“Ekalaya, putera Hiranyadanush.”
Arjuna mendekat dan nafasnya memburu. “Dari mana kau belajar memanah seperti ini?”
Dengan sepasang mata yang penuh bintang, Ekalaya menjawab, “Resi Dorna.”
Seluruh pepohonan di hutan itu bergetar karena raungan amarah Arjuna.
Ayah menghentikan kalimatnya.
“Apakah Ekalaya berbohong?” tanyaku.
“Tidak. Dia menciptakan sebuah patung Resi Dorna dan menyembahnya setiap hari sebelum mulai berlatih. Meski sebetulnya dia berlatih panah sendiri, dia merasa mendapatkan jiwa dan semangat dari bayang-bayang Dorna yang dia bangun sendiri hingga berhasil menjadi pemanah yang jauh lebih perkasa daripada Arjuna.”
Aku termenung, aku tahu betul cerita itu pasti belum berakhir di situ, karena dalam dunia Mahabharata, Arjuna tetap disebut sebagai pemanah terbaik sejagat. Apa yang terjadi dengan Ekalaya?
“Arjuna merajuk, mengadu pada Dorna. Dorna kemudian menemui Ekalaya dan terkejut bahwa ada seorang lelaki yang bisa belajar dari jauh  tanpa harus bertemu dan berhadapan dengannya. Antara rasa kaget, bangga, tapi lantas jengkel karena tahu dia harus segera membereskan rajukan anak manja seperti Arjuna.”
Suara Ayah tampak semakin keras dan mengandung kemarahan. “Sebagaimana biasanya tradisi antara guru dan murid yang baru selesai dilimpahkan ilmunya, maka akan terjadi peristiwa guru-dakshina.”
“Apa itu guru-dakshina, Ayah?”
“Sebuah pemberian formal dari seorang murid kepada gurunya setelah ajarannya komplit.”
“Dan Resi Dorna managih guru-dakshina kepada Ekalaya?” tanyaku menebak.
“Ya,” Ayah menahan jatuhnya air mata.
“Apa, Yah…”
“Dorna meminta Ekalaya memotong ibu jari tangan kanannya lalu diserahkan kepada sang guru.”
Aku terdiam beberapa detik, lalu tersentak menyadari. Ibu jari adalah bagian terpenting untuk seorang pemanah.
Ekalaya, seorang yang patuh, tentu saja dengan senang hati mengabulkan permintaan Dorna dan langsung saja memenggal ibu jarinya. Selanjutnya, meski tetap memanah dengan empat jari, Ekalaya bukan lagi pemanah jitu seperti sebelumnya. Dan Arjuna kembali berada di puncak ektase: dialah pemnah terbaik di seluruh jagat.
***
Hanya beberapa bulan setelah Ayah dan Maman berpisah, aku mulai merasakan “ada sesuatu” antara Ayah dan Indonesia yang tak bisa tergantikan oleh apa pun dan siapa pun. Aku baru menyadari bahwa setiap tahun Ayah rutin mencoba mengajukan  permohonan visa untuk masuk ke Indonesia. Tentu saja sebagai seseorang yang mendapat suaka politik Ayah--seperti juga kawan-kawannya--sudah meggunakan paspor Prancis. Namun berbeda dengan Om Risjaf yang entah bagaimana bisa mendapatkan visa, permohona Ayah, Om Nug, dan Om Tjai selalu ditolak.
Mereka tak pernah memberi alasan yang jelas. Om Risjaf juga tak paham dengan diskriminasi ini, padahal dia juga bagian dari ‘geng’ Om Hananto yang bertemu di Havana dan dicabut paspornya.
Setiap kali mendengar berita bahwa permohonan mereka ditolak, Ayah memainkan wayang kulit Ekalaya dan mendalang sendiri. Lantas dia menyendiri di kamar membaca surat-surat lama, entah dari siapa karena itu pasti daerah pribadi yang tak ingin kusentuh. Kalau sudah begitu, aku yang sedang giliran bermalam di tempat Ayah akan mencoba memberi ruang kesedihan itu untuknya.
Baru belakangan aku bisa memahami ada sesuatu dalam diri Ekalaya yang membuat Ayah mencoba bertahan. Ekalaya ditolak berguru oleh Dorna dan dia tetap mencoba ‘berguru’ dengan caranya sendiri. Hingga Dorna mengkhianati Ekalaya, sang ksatria tetap menyembah dan menyerahkan potongan jarinya. Ekalaya tahu, meski ditolak sebagai murid Dorna, dia tidak ditolak oleh dunia panahan. Sesungguhnya dialah pemanah terbaik sejagat raya, meksi dalam Mahabharata Dorna tetap mengangkat Arjuna ke panggung sejarah hanya karena dia pilih kasih.
Ayah tahu, dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebabnya dia meletakkan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa genggam bubuk kunyit di stoples kedua di ruang tamu hanya untuk merasakan aroma Indonesia.

Menjelang usiaku yang ke-12, segala penolakan visa dan upacara mecium bau cengkih dan memainkan wayang kulit Ekalaya berulang, aku menyimpulkan: Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tetapi dia akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka.
Cukup panjang saya menjiplak plek-plek mengutip isi novel yang menceritakan Ekalaya. Maaf ya Mbak Leila kalau saya ngasih contekan tentang sisi Pulangnya kebanyakan, hehee. Sila beli bukunya jika ingin tahu keseluruhan cerita: Apakah Dimas bisa pulang ke tanah airnya?
Ilustrasi Ekalaya ketika menyerahkan ibu jarinya pada Resi Dorna
Kembali ke kedekatan saya dengan dunia wayang. Saya sama sekali buta tentang cerita perwayangan. Perkenalan saya pertama kali dengan dunia wayang bisa dibilang dari novel ini. Memang nama-nama seperti Arjuna, Bima, Srikandi, pernah saya dengar tapi saya tidak tahu apa yang mereka lakukan, mereka kenapa? I have no idea! Sedih banget ya nggak akrab sama cerita tentang Mahabharata (>.<")

Saya lebih kenal Arjuna sebagai si pencari cinta, bukan sebagai pemanah terbaik sejagat...
Akulah Arjunaaa..... aaaaa! Yang mencari cinta. Wahai wanitaa....aaaa! Cintailah akuuuu...
Setelah membaca Pulang, saya tertarik mencari tahu.

@putriku_

A novel: Pulang



Pulang. Saya jatuh cinta pada novel ini.

Sempat ragu awalnya memutuskan untuk beli atau tidak. Seorang wartawan yang saya follow di Twitter sempat merekomendasikan novel ini. Saya percaya selera dia bagus jadi saya mulai mempertimbangkan untuk beli. Beberapa kali saya ke toko buku melihat novel dengan sampul kuning itu. Membolak-balik buku. Membaca sekilas isinya dan akhirnya mengembalikanya ke rak buku.

Kayaknya novelnya ‘berat’.

Sampai akhirnya ketika mengantar Dhani, teman baru yang saya kenal ketika mengikuti pelatihan di Surabaya, ke toko buku di sebuah mall. Dhani si predator buku langsung kalap memilih buku-buku. Cekatan sekali, dia berjalan cepat dari satu rak ke rak lainnya karena beberapa menit lagi toko tutup. Saya hanya melihat-lihat saja. Tidak berencana membeli buku sampai saya melihat Dhani ‘menggondol’ banyak bacaan. Saya tidak ingat persisnya berapa. Mungkin lima buah, bisa juga lebih.

“Banyak banget, Dhan…”

“Iya. Soalnya di Makassar buku-buku ini belum ada. Distribusinya agak lama. Mumpung di Surabaya” Dhani nyengir kemudian berlalu menuju kasir.

Tidak mau kalah. Saya bergegas menuju rak dan mengambil dua buku untuk diboyong: Pulang dan Berjalan di Atas Cahaya. Dua-duanya karya wartawan Indonesia. Saya menyusul Dhani ke kasir untuk membayar.

Kali ini saya menceritakan Pulang doang yaa. Jujur saja, ketertarikan saya pada novel ini karena penulisnya, Leila S. Chudori adalah seorang wartawan. Sejauh ini, saya tidak pernah dikecewakan ketika peliput berita membuat buku. Kedua, novel ini menceritakan sejarah. Tema besar ceritanya tentang kehidupan para eksil politik atau yang dituduh sebagai pendukung PKI dengan latar Indonesia 30 September  1965, Prancis 1968 saat terjadi pergerakan mahsiswa di sana, dan Indonesia Mei 1998.

Sampul depan Pulang
Meskipun fiksi, tapi novel ini berdasarkan kisah nyata. Saya percaya penulis melakukan riset luar biasa. Terbukti dengan banyaknya referensi di lembaran akhir. Novel pertama yang menyertakan referensi yang pernah saya baca. Tidak cukup itu, Leila juga banyak mewawancarai orang-orang yang terlibat langsung dengan krisis politik Indonesia pada September 1965 - Mei 1998. Dia mengejar narasumber sampai ke Prancis. Hasilnya….. K.E.R.E.N!

Di awal, sempat mentok membacanya. Mungkin karena kepala saya belum beradaptasi dengan karya sastra ini. Tetapi setelah ketemu iramanya, saya tidak bisa berhenti. Butuh tenaga ekstra memang membacanya: sudut pandang yang berubah-ubah, dimulai dengan Hananto, kemudian Dimas, lalu Lintang, Vivienne, Alam, Bima, kadang dari sudut pandang orang ketiga yang segala tahu, serta alur cerita yang meloncat maju-mundur-maju, tetapi itu tidak menyurutkan semangat saya untuk sesegera mengkahatamkan Pulang, karena Leila menuturkannya dengan sangat apik.

Dimas Suryo dan putrinya, Lintang Utara adalah tokoh utama di novel ini.

Meskipun lama tinggal di Prancis, Dimas selalu ingin kembali ke Indonesia. Ketika itu, dia diutus untuk menghadiri konferensi jurnalis di luar negeri. Tapi dia tak pernah bisa kembali karena krisis politik yang melanda negeri. Dia ingin pulang ke tanah airnya. Tapi tidak bisa karena pemerintah Indonesia menolaknya. Dimas dituduh “orang kiri” atau simpatisan PKI.

Lintang adalah putri semata wayang Dimas dengan Vivienne Devaraux, seorang wanita Prancis dengan bola mata hijau biru yang membuat Dimas terkesima. Lintang lahir dan tumbuh dewasa di Paris, kota impian banyak orang.
Ayahnya berasal dari Indonesia. Bagi Lintang, Indonesia seperti nama negeri dalam mitos yang sering diceritakan orang tuanya, sahabat ayahnya atau dari buku dan dokumenter. Dia tidak "mengenal" Indonesia. Bahkan dia tidak pernah terpikir untuk menjejakkan kaki di tanah kelahirannya ayahnya. Meskipun begitu, darahnya berdesir ketika mendengar suara gamelan atau ketika ayahnya berkisah tentang cerita perwayangan.

Ada tokoh wayang yang saya kagumi dari tulisan ini. Sosok Ekalaya. Tidak seterkenal tokoh Arjuna, Bima, Srikandi atau Drupadi memang. Dimas Suryo mengaguminya. Saya juga jatuh cinta pada Ekalaya. Nanti saya tulis khusus tentang Ekalaya dalam Pulang.

Berbicara karakter, Leila sepertinya sangat memperhatikan watak setiap tokoh dalam ceritanya. Setiap tokoh mempunyai karakter yang kuat dan unik. Membekas. Saya menebak-nebak siapa tokoh ini dalam kehidupan nyata di sekeliling saya. Belakangan saya tahu, membangun karakter adalah bagian favorit Leila dalam menuis fiksi. Itu diutarakannya ketika menjadi narasumber workshop menulis fiksi di mana saya menjadi pesertanya. Alasan saya ikut workshop bukan untuk memperoleh ilmu menulis fiksi sebetulnya, tetapi karena saya penasaran dengan sosok si penulis, serta berharap novel saya ditanda tangani :p
Berharap tahun depan nama saya yang "mejeng" di kartu nama media itu :p
 Banyak hal baru yang saya dapatkan, misalnya kisah Mahabharata yang asing bagi saya sebelum membaca novel ini. Juga istilah-istilah pada masa Orba seperti bersih diri dan bersih lingkungan. Selain itu, ada yang “mengganggu” pikiran saya setelah membaca Pulang. Meskipun fiksi, saya merasa seperti membaca buku sejarah dengan cara yang menarik, karena memang karya fiksi ini dibuat berdasarkan peristiwa sejarah dari orang-orang yang sengaja diluputkan luput dari materi sejarah buku ajar sekolah.

Si penulis melakukan riset panjang. Dia membaca literatur, mengobrol dengan sejarawan, mewawancarai orang-orang yang terlibat, mengejar narasumber sama ke luar negeri demi Pulang. Seperti saya ulas sebelumnya, ini novel pertama yang saya baca yang menyertakan referensi! Ini fiksi apa skripsi??? Hehehee.

Pokoknya keren! Saya menyesali satu hal setelah membaca novel ini: kenapa dulu sempat pikir-pikir untuk beli.