Haruskah kutunjukkan cintaku dengan mencucurkan darah? Kau akan lihat warnanya merah. Atau, perlu kurobek kulit hingga nampak tulang? Kau akan lihat warnanya putih. Mintalah, ibu… Akan kulakukan. Akan kulakukan. Demi kau.
Ibu menegang, “Bukan itu yang kumau!” Tiba-tiba saja kau mudah marah. Kau bilang orang-orang asing itu juga sepertiku. Darahnya merah, tulangnya pun putih. Tapi mereka melecehkanmu.
“Mereka bukan putramu, Ibu…” kataku. Kau malah semakin garang. Melotot hingga aku khawatir bola matamu loncat.
“Kau anakku tapi tak marah saat kebayaku dikoyak. Tak melawan saat sanggulku diinjak. Lautku dijarah, gunungku gundul sementara kau ingin mendaki Denali dan memimpikan berjemur di Hawaii. Semeru yang gagah itu punyamu! Raja Ampat yang memukau itu milikmu! Kau tak mau lagi makan nasi, apalagi mengaji. Kau lebih memilih apa itu… party, ya party. Kuminta memakai batikku yang luhur, kau malah bangga berbalutkan pakaian dalam saja. Kau bilang itu cool. Tak ada yang bisa kuwariskan jika aku mati. Selain adatku, normaku, alamku. Hanya itu untukmu. Kau tahu gusar menderaku setiap saat. Aku takut kau lupa kau itu putraku. Putra pertiwi!”
Murkamu menyentakku. Rasa malu menggerayangiku.
Darahku merah, tulangku putih. Semangatku mencintaimu kuning, tanda berkabung. Maaf ibu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar