Hari Minggu menggali waktu luang
Potongan kasih sayang berserakan di setiap sudut perkotaan
Burung gereja bersenandung sembari bergelayut manja
Tak sekedar cerita yang tertulis tentang aku dan para pengais makna
Ada nilai rasa yang tidak dapat ditukar dengan koin buatan manusia
Ada keajaiban yang aku harap akan merubah segalanya
Engkau yang di sana -yang tengah sibuk melukis dengan warna-warni dunia
Yang tengah menari diantara para pujangga
Hiduplah seakan besok takkan ada kesempatan bernafas lagi
Dan berjalanlah dengan merendahkan hati
Rabbana aatina fiddunya hasanah wa filakhiroti hasanah wa qina adzabannar
****
Tenang
Sederhana
Damai dan mendamaikan
Bagus ya?
Mungkin dari kaca mata saya aja sih cuma masalah selera, hehe.... *takutnya dikira sotoy*
Ini karya Lia, teman saya waktu lagi ikutan pelatihan menulis sekitar 2 tahun lalu
Apa kabar Lia?
Suka banget sama tulisan ini sampai saya simpan, bahkan saya kirim ke mereka yang saya sayangi. Ibu saya, adik saya, kakak saya, sahabat-sahabat, si A, si B, si C, si ....
Ngabisin banyak karakter emang, tapi kan dulu provider simcard hp saya (yang plat kuning kaya plat buat angkutan umum itu) ngasih gratisan 100 sms kalo dah sms 10x, hehe...
Masalah hak cipta jangan khawatir, saya bilang ko sama mereka saya copas punya teman ;-D
Sabtu, 25 Juni 2011
Kuning
Haruskah kutunjukkan cintaku dengan mencucurkan darah? Kau akan lihat warnanya merah. Atau, perlu kurobek kulit hingga nampak tulang? Kau akan lihat warnanya putih. Mintalah, ibu… Akan kulakukan. Akan kulakukan. Demi kau.
Ibu menegang, “Bukan itu yang kumau!” Tiba-tiba saja kau mudah marah. Kau bilang orang-orang asing itu juga sepertiku. Darahnya merah, tulangnya pun putih. Tapi mereka melecehkanmu.
“Mereka bukan putramu, Ibu…” kataku. Kau malah semakin garang. Melotot hingga aku khawatir bola matamu loncat.
“Kau anakku tapi tak marah saat kebayaku dikoyak. Tak melawan saat sanggulku diinjak. Lautku dijarah, gunungku gundul sementara kau ingin mendaki Denali dan memimpikan berjemur di Hawaii. Semeru yang gagah itu punyamu! Raja Ampat yang memukau itu milikmu! Kau tak mau lagi makan nasi, apalagi mengaji. Kau lebih memilih apa itu… party, ya party. Kuminta memakai batikku yang luhur, kau malah bangga berbalutkan pakaian dalam saja. Kau bilang itu cool. Tak ada yang bisa kuwariskan jika aku mati. Selain adatku, normaku, alamku. Hanya itu untukmu. Kau tahu gusar menderaku setiap saat. Aku takut kau lupa kau itu putraku. Putra pertiwi!”
Murkamu menyentakku. Rasa malu menggerayangiku.
Darahku merah, tulangku putih. Semangatku mencintaimu kuning, tanda berkabung. Maaf ibu…
Ibu menegang, “Bukan itu yang kumau!” Tiba-tiba saja kau mudah marah. Kau bilang orang-orang asing itu juga sepertiku. Darahnya merah, tulangnya pun putih. Tapi mereka melecehkanmu.
“Mereka bukan putramu, Ibu…” kataku. Kau malah semakin garang. Melotot hingga aku khawatir bola matamu loncat.
“Kau anakku tapi tak marah saat kebayaku dikoyak. Tak melawan saat sanggulku diinjak. Lautku dijarah, gunungku gundul sementara kau ingin mendaki Denali dan memimpikan berjemur di Hawaii. Semeru yang gagah itu punyamu! Raja Ampat yang memukau itu milikmu! Kau tak mau lagi makan nasi, apalagi mengaji. Kau lebih memilih apa itu… party, ya party. Kuminta memakai batikku yang luhur, kau malah bangga berbalutkan pakaian dalam saja. Kau bilang itu cool. Tak ada yang bisa kuwariskan jika aku mati. Selain adatku, normaku, alamku. Hanya itu untukmu. Kau tahu gusar menderaku setiap saat. Aku takut kau lupa kau itu putraku. Putra pertiwi!”
Murkamu menyentakku. Rasa malu menggerayangiku.
Darahku merah, tulangku putih. Semangatku mencintaimu kuning, tanda berkabung. Maaf ibu…
Langganan:
Postingan (Atom)