Pernah saya mengupayakan sesuatu untuk memperoleh hasil terbaik. Lalu, kamu memvonis saya ambisius.
Apa jadinya manusia tanpa ambisi? Mungkin seperti robot berbalut daging dan darah yang butuh tidur, makan, dan buang air.
Kamu perbaiki kalimatmu. Menambahkan kata "terlalu" sebelum kata ambisius. Vonis yang meluluh-lamtakkan semua mimpi, yang kamu nilai sebagai proyek diluar nalar.
Ingin rasanya mengajukan pembelaan bahwa yang saya lakukan belum seberapa. Bukan apa-apa. Tak ada apa-apanya dibanding mereka yang telah lama mencapai garis finish, dan sedang bersiap untuk lintasan baru.
Saya berjalan, bukan berlali. Meski sesekali sambil menari, agar hilang penat. Kamu bilang saya terlalu menyiksa diri. Yang saya lakukan belum seberapa. Bukan apa-apa. Tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Mereka yang kamu bilang manusia tidak bersyukur, karena tidak menikmati hidup.
Tidak seperti kamu yang sesering mungkin berhenti di pinggiran sambil mengopi, lalu mengajak orang lain untuk berlama-lama bicara remeh temeh tentang hidup.
Saya menyukai mereka!
Kamu -yang paling tahu tentang segalanya sejagat raya- bilang kalau saya mulai dungu. Kali ini saya terayu. Keluar lintasan. Sedetik kemudian mengutuki diri atas keputusan yang tidak saya maui.
Dan saya di sana. Bersama kamu. Menyaksikan mereka berlari, yang terus kamu komentari melakukan hal yang tidak berarti. Lari, lari, untuk hal yang tidak pasti.
Memangnya, kamu tidak jenuh dengan berlama-lama berdiam diri? Memangnya kamu tidak penasaran akan sesuatu yang menunggu di ujung lintasan? Memangnya kamu tidak rindu rasanya berlari? Memangnya kamu sudah lupa caranya bermimpi? Memangnya kamu....
"Orang yang tidak melalukan apa-apa, tidak berhak mendapatkan apa-apa! Diam, dan jangan bertanya lagi!"